Kapanlagi.com - Fenomena penghinaan terhadap pengadilan, atau yang dikenal dengan istilah Contempt of Court, kembali mencuri perhatian publik. Kali ini, nama pengacara kondang Razman Arif Nasution menjadi sorotan utama dalam dugaan pelanggaran hukum ini, memicu perdebatan hangat di kalangan pakar hukum dan masyarakat luas. Kontroversi ini pun menimbulkan pertanyaan mendalam mengenai regulasi yang mengatur tindakan yang dapat merusak kewibawaan pengadilan.
Dalam dunia peradilan, menjaga integritas dan kehormatan lembaga adalah suatu keharusan. Sayangnya, dalam berbagai kasus, tindakan yang mencederai proses hukum sering kali terjadi. Perilaku yang dianggap merendahkan wibawa pengadilan, seperti tindakan tidak pantas dalam ruang sidang atau ketidakpatuhan terhadap perintah hakim, termasuk dalam kategori Contempt of Court.
Meskipun isu ini sering menjadi bahan perbincangan, Indonesia hingga saat ini belum memiliki regulasi yang jelas dan khusus mengenai Contempt of Court. Aturan yang ada masih tersebar dalam pasal-pasal di Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP). Lantas, bagaimana sebenarnya kasus Razman Nasution ini berhubungan dengan dugaan penghinaan terhadap pengadilan? Mari kita telusuri lebih dalam.
Contempt of Court berasal dari sistem common law yang berarti tindakan yang merendahkan, melecehkan, atau merongrong kewibawaan serta martabat pengadilan. Konsep ini pertama kali diakui secara hukum di Indonesia dalam UU No. 14 Tahun 1985 tentang Mahkamah Agung, yang kemudian diperbarui dengan UU No. 5 Tahun 2004.
Berdasarkan referensi dari Naskah Akademis Penelitian Contempt of Court 2002 oleh Mahkamah Agung RI, tindakan yang masuk dalam kategori penghinaan pengadilan meliputi:
Sejak 2015, Mahkamah Agung telah mengusulkan regulasi yang lebih tegas terkait penghinaan terhadap pengadilan. Namun, hingga kini, aturan khusus tersebut masih belum resmi disahkan.
Razman Nasution, pengacara yang kerap terlibat dalam kasus-kasus hukum yang mengundang kontroversi, kini menghadapi dugaan serius terkait Contempt of Court.
Tuduhan ini muncul setelah ia dituduh mengabaikan perintah pengadilan dan merendahkan proses peradilan dengan pernyataan-pernyataannya yang menyerang majelis hakim serta mempertanyakan integritas lembaga hukum secara terbuka. Tindakan tersebut dianggap melanggar aturan yang melindungi kehormatan pengadilan dari penghinaan.
Sesuai dengan Pasal 207 KUHP, siapapun yang dengan sengaja menghina badan atau pejabat hukum dapat dijatuhi hukuman penjara hingga 1 tahun 6 bulan atau denda. Jika Razman terbukti bersalah, ini bisa menjadi preseden baru yang berpengaruh dalam kasus-kasus serupa di masa depan.
Hingga kini, regulasi terkait Contempt of Court di Indonesia masih tersebar dalam beberapa pasal di KUHP dan KUHAP. Beberapa di antaranya adalah:
Namun, banyak pihak menilai bahwa hukuman yang ada masih kurang memberikan efek jera, sehingga perlu regulasi yang lebih ketat untuk menangani kasus seperti ini di masa depan.
Jika terbukti bersalah, pelaku bukan hanya akan berhadapan dengan konsekuensi hukum sesuai Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), tetapi juga berisiko menghadapi sanksi dari organisasi profesi seperti Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI).
Dalam kasus serupa sebelumnya, sejumlah pelaku yang berani menghina pengadilan telah menerima hukuman berat, mulai dari diskualifikasi dari profesi hukum hingga larangan praktik dalam waktu tertentu. Tak pelak, kasus ini dapat berdampak serius pada citra dan kredibilitas pelaku sebagai seorang advokat.
Untuk menghindari kejadian serupa, diperlukan edukasi hukum yang lebih luas bagi masyarakat, termasuk para praktisi hukum sendiri. Beberapa langkah yang dapat dilakukan adalah:
Langkah-langkah ini diharapkan dapat menjaga integritas peradilan serta memastikan bahwa hukum tetap berjalan dengan adil dan efektif.
Contempt of Court adalah tindakan yang merendahkan, melecehkan, atau menghalangi proses hukum di pengadilan.
Ya, meskipun belum ada regulasi khusus, tindakan ini diatur dalam beberapa pasal KUHP dan KUHAP.
Bervariasi, tergantung jenis pelanggaran. Bisa berupa teguran, denda, hingga hukuman penjara.
Ya, selain sanksi pidana, advokat juga bisa mendapatkan sanksi dari organisasi profesinya.