Hadapi Pandemi, Papermoon Puppet Theatre Beradaptasi dengan Tetap Berkreasi

Penulis: Puput Saputro

Diperbarui: Diterbitkan:

Hadapi Pandemi, Papermoon Puppet Theatre Beradaptasi dengan Tetap Berkreasi
Papermoon Puppet Theatre (credit: instagram/papermoonpuppet)

Kapanlagi.com - Pandemi virus corona covid-19 yang tak kunjung usai berdampak pada berbagai aspek kehidupan, termasuk dalam dunia seni. Hampir setahun lamanya, panggung pertunjukan seni dibatasi. Tak ada lagi suara tepuk tangan penonton yang menyaksikan pentas secara langsung. Kini penonton hanya bisa menyaksikan pertunjukan kesayangannya melalui layar digital.

Papermoon Puppet Theatre, kelompok teater boneka asal Yogyakarta yang sudah mendunia juga merasakan dampaknya. Hampir genap satu tahun lamanya, Papermoon tidak lagi tampil secara langsung di atas pentas. Terakhir kali sebelum pandemi, Papermoon sempat tampil di Jepang membawakan cerita "Bucket of Beetles". Sejak saat itu, sampai sekarang Papermoon belum lagi bisa menyapa penontonnya secara langsung.

Padahal, bisa dibilang saat ini Papermoon sedang naik daun. Namanya semakin dikenal setelah tampil di video musik Tulus yang berjudul Manusia-Manusia Kuat, serta muncul di film ADA APA DENGAN CINTA 2. Papermoon semakin punya banyak penggemar. Pentas dan workshop-nya juga selalu dinanti. Tapi apa boleh buat, pandemi datang tanpa bisa diprediksi. Alhasil, kini Papermoon harus beradaptasi.

Kapanlagi.com berkesempatan mewawancarai Pambo Priyojati, salah satu seniman di Papermoon Puppet Theatre. Sedikit banyak, Pambo bercerita tentang proses adaptasi yang dilalui Papermoon di masa pandemi ini. Ditemui di studio Papermoon di kawasan Desa Sembungan, Bangunjiwo, Bantul pada 31 Desember 2020, berikut cuplikan wawancara Kapanlagi.com dengan sosok Pambo.

 

 

 

 

 

 

 

1. Mungkin bisa diceritakan Mas, bagaimana pertama kali Papermoon mulai merasakan dampak dari pandemi? Lalu Bagaimana menyikapinya?

Dampak pandemi sudah kami rasakan sejak di awal tahun, sebenarnya. Jadi Februari dari tim kami ada yang sempat ke Jepang untuk mementaskan "Bucket of Beetles". Kemudian, Februari saat mereka pulang (ke Indonesia) covid meledak. Waktu itu, mereka belum tahu, padahal situasi semakin ketat. Akhirnya, semua (agenda) di-postpone semua, di-cancel sampai 2021.

Terus, kita bikin kesepakatan kalau sementara waktu kita tidak akan belanja produksi. Jadi kita tetap berkarya, dengan menghabiskan habiskan stok barang produksi yang kita punya.

(credit: reporter/puput saputro)

 

 

 

 

 

 

(Ayo ikuti saluran WhatsApp KapanLagi.com biar enggak ketinggalan update dan berita terbaru seputar dunia hiburan tanah air dan juga luar negeri. Klik di sini ya, Klovers!)

2. Lalu seperti apa bentuk adaptasi yang dilakukan Papermoon dalam hal produksi dan kreativitas?

Setelah "Bucket of Beetles Satu', lahirlah "Bucket of Beetles Kedua" merupakan hasil remake dari pementasan yang ada di Jepang. Tapi, saat itu semua artistiknya kita eksplor lagi. Artistiknya semua dibikin dari gambar-gambar Lunang, anak Mbak Ria (pendiri Papermoon).

Kemudian Pak Anton (salah satu seniman di Papermoon) mengambil batang ranting-ranting dari pohon di depan. Ternyata, ranting-ranting itu justru bisa mewakili garis-garis di gambar Lunang yang lugas dan jujur. Kalau (Bucket of Beetles Satu) sebelumnya pakai triplek, kalau dipakai lagi kok kayanya "wagu" istilahnya.

Kemudian, saya juga coba bikin set gubuk pakai ranting-ranting di depan. Setelah jadi, ternyata menarik dan cocok dengan konsep. Jadi ya, tanpa perlu belanja produksi artistik tetap bisa berjalan. Akhirnya kita beradaptasi di antaranya dengan memanfaatkan itu. Terus sekalian kita bawa batang pohon tumbang, jadi kita pindah hutan kecilnya ke sini.

 

 

3. Berarti pementasannya lewat video ya, Mas? Apakah ini jadi pertama kali buat Papermoon pementasan melalui video? Lalu, bagaimana, kesannya?

Iya (baru pertama), biasanya kita cuma menyediakan stok shoot foto dan video untuk trailer konten youtube, dan instagram. Karena formatnya video, kita malah sekalian aji mumpung. Misalnya, ada adegan kebakaran kita sekalian bikin api beneran, lalu divideokan. Semua kita lakukan di sini (studio). Selain itu, kita juga malah belajar pemahaman-pemahaman baru, seperti tentang sinematik dan POV. Hal-hal yang sebelumnya benar-benar baru.

 

 

4. Jadi dari segi kreativitas dan produksi, sebenarnya pandemi tidak begitu mempengaruhi Papermoon, ya? Malah menjadi jalan untuk lebih kreatif lagi. Lantas, bagaimana kalau dampak secara finansial?

Betul (pandemi menjadi jalan untuk lebih kreatif lagi). Kalau secara finansial, dampaknya jelas terasa. Tapi, kemarin kami buat kesepakatan untuk tetap berkarya. Tapi ya, bagaimanapun finansial tetap hal yang penting. Di lain sisi, pandemi membuat kami banyak melakukan refleksi, selama ini kami berkarya untuk apa. Setelah itu, muncul ide-ide lain. 

(credit: instagram/papermoonpuppet)

 

 

 

 

 

 

 

5. Ide-ide seperti apa yang akhirnya muncul, dan kemudian dieksekusi Papermoon di masa pandemi saat ini?

Seperti yang kemarin kita Oktober punya Biennale International Puppet festival, namanya Pesta Boneka. Sebenarnya awalnya kita masih ragu (untuk mengadakannya). Tapi beberapa teman-teman seperti dari filipina sudah booking dari jauh-jauh hari. Dan mereka pengin ngotot untuk tetap ke sini. Tapi kita mewanti-wanti, kalau nanti waktu kalian akan habis masih karantina 14 hari, terus tidak ada penontonnya. Dengan berat hati kami berniat membatalkan.

Tapi, kemudian kami ingat kesepakatan kami dari awal, bahwa kami bikin festival itu untuk menghidupkan lingkaran seniman boneka. Jadi target utamanya bukan audien, audien adalah impect yang lain. Dan mau dilihat atau tidak, lingkaran inilah sebenarnya esensinya. Makanya, kemarin kita tanyakan teman-teman ini minat tidak kalau pesta boneka kita buat online. Ternyata banyak antusiasnya. Dan alhamdulillah animo masyarakat juga semakin.

 

 

6. Jadi, Pesta Boneka pertama yang diadakan secara online, bagaimana kesannya?

Pertama-tama, kemarin kami berkaca dari seniman lain, seperti teman-teman di Singapura dan Filipina. Mereka cuma mau membuat sesuatu saja, peralatannya ada di kampus. Sementara, kampus tidak bisa diakses. Terus, karya-karya yang dikirim misalnya dari Filipina kan kolektif dibuat oleh tujuh orang. Ketujuh orang itu membuat karya dari kamar masing-masing, lalu diedit disatukan di dunia maya. Itu membuat kami bersyukur karena kita masih bisa ke kanan kiri, membeli alat, jadi harus bersyukur.

Dan ketika terakhir (mereka) diminta testimoni, mereka berterima kasih sekali karena sudah diundang. Kalau kata Mbak Ria itu semacam upaya menjaga kewarasan, dengan ngobrol bareng teman-teman sekomunitas.

Ada juga dari penonton yang tertarik dengan teater boneka juga bisa ngobrol, langsung lewat sesi QNA setelah pertunjukan. Jadi, audien bisa langsung ngobrol dengan senimannya. Para seniman juga merasa senang, karena ibaratnya sudah lama "ngampet". Pesta boneka bisa jadi wadah untuk menyalurkan keluh kesah. Kita juga jadi sadar, bahwa pesta boneka itu memang harus ada.

(credit: instagram/papermoonpuppet)

 

 

 

 

7. Memangnya, seperti apa sih Mas, pergelaran Pesta Boneka di tahun-tahun sebelumnya? Dan, apa yang paling dirindukan?

Pesta Boneka itu biennale, jadi diadakan dua tahun sekali. Biasanya berlangsung selama tiga hari, diadakan di tempat yang proper. Terakhir diadakan di Desa Kepek, Bantul. Jadi ada beberapa space spot-spot begitu. Sebenarnya kemarin mau di area ini, Sembungan. Sudah pendekatan dengan masyarakat sini. Tapi, malah ada pandemi ini.

Biasanya di hari ketiga semua membaur. Di hari ketiga itu semua creative boleh masuk, ada salah satu program yang mana teman-teman seniman membuat masakan menu khas negaranya masing-masing. Kemudian, warga bisa ikut mencicipi. Momen itu semua berbaur, biarpun bahasanya beda-beda. Tapi sayangnya, tahun ini nggak bisa. Dan mereka (seniman-seniman Pesta Boneka) lumayan merindukan itu juga ternyata.

 

 

8. Oh iya Mas, kemarin saat saya hubungi katanya sudah menyusun agenda setahun ke depan, ya? Ada semacam antisipasi tidak Mas, jika ternyata pandemi tak juga kunjung usai?

Betul, kami juga menyepakati kalau virus ini sudah jadi bagian dari kita. Ya sudah, sekalian kita jadikan gaya hidup saja, seperti pakai masker, membiasakan jaga kebersihan. Festival-festival di luar, kami masih belum berani (terlibat). Jadi, kami pasti tetap karya lewat video. Kemarin ada Museum Kochi ingin melibatkan kami. Tapi kami belum berani, akhirnya kami bikin pameran dengan mengirim video lagi.

Tapi kemudian kemarin kita sudah ada wacana akan bikin konsep (pementasan) hand carry performance. Tapi, itu masih wacana. Jadi, pertunjukan kecil yang harus janjian dulu. Kita hanya akan bawa satu koper, kemudian kami pentaskan di depan penonton paling 10-15, benar-benar di batasi. Kemarin kami sudah simulasi. Kami juga sudah mulai buka studio tapi dengan limitasi hanya 15 orang dan protokol tertentu.

(credit: instagram/papermoonpuppet)

 

Itulah cuplikan wawancara kapanlagi.com dengan Pambo Priyojati, salah satu seniman di Papermoon Puppet Theatre. Terbukti, pandemi sudah semestinya tak dijadikan alasan untuk berhenti berkarya. Justru, proses adaptasi yang dilalui bisa jadi jalan baru untuk tetap berkreasi. Semoga menginspirasi!

 

 

 

 

(Ayo ikuti saluran WhatsApp KapanLagi.com biar enggak ketinggalan update dan berita terbaru seputar dunia hiburan tanah air dan juga luar negeri. Klik di sini ya, Klovers!)

Rekomendasi
Trending