Kapanlagi.com - Ditulis oleh: Antonia Rucita Nurak
Google Doodle pada hari ini, Senin (20/3) memperingati hari ulang tahun penyair legenderis Indonesia, Sapardi Djoko Damono. Lahir di Solo, Jawa Tengah pada 1940. Sekilas tentang Sapardi Djoko Damono. Sapardi merupakan sosok yang gemar membaca, sehingga masa kecilnya dihabiskan dengan membaca di perpustakaan.
Dia baru mulai menulis puisi saat di bangku SMA. Sapardi melanjutkan pendidikannya di Universitas Gajah Madah dan mendapatkan gelar bahasa Inggris, selanjutnya mengambil sastra Indonesia di sekolah pascasarjana. Dia mulai serius dalam menulis puisi ketika bekerja sebagai penyiar radio dan asisten teater.
Pada tahun 1969 Sapardi merilis kumpulan puisi pertamanya, dukaMu abadi. Dia kemudian dikenal sebagai salah satu penyair romantis Indonesia. Puisi-puisi romantisnya dengan mudah melekat di hati setiap masyarakat. Maestro puisi ini banyak menginspirasi generasi mudah setelahnya.
Penyair legendari Indonesia tersebut meninggal dunia di usia senja pada, Minggu (19/7/2020) di RS. Eka Hospital BSD, Tanggerang Selatan. Namun demikian, karya-karyanya tak lekang oleh waktu. Berikut puisi-puisi Sapardi Djoko Damono yang melegenda.
Memungut detik demi detik, merangkainya seperti bunga sampai pada suatu hari
Kita lupa untuk apa
"Tapi, Yang fana adalah waktu, bukan?"
tanyamu. Kita abadi.
Â
Dari hujan bulan juni
Dirahasiakan rintik rindunya
Kepada pohon berbunga itu
Tak ada yang lebih bijak
Dari hujan di bulan Juni
Dihapuskan jejak-jejak kakinya
Yang ragu-ragu di jalan itu
Â
Â
Tak ada yang lebih arif
Dari hujan bulan juni
Dibiarkan yang tak terucapkan
Diserap akan pohon bunga itu
Â
Â
Â
menjenguk
wajah yang merasa sia-sia,
yang putih
yang pasi
itu.
Â
Â
Jangan sekali-
kali membayangkan
Wajahmu sebagai
rembulan.
Â
Â
Ingat,
jangan sekali-
kali. Jangan.
Â
Baik, Tuan. Â
Â
Â
dengan kata yang tak sempat diucapkan
kayu kepada api yang menjadikannya abu
Â
Â
Aku ingin mencintaimu dengan sederhana
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan
awan kepada hujan yang menjadikannya
tiada
Â
jasadku tak akan ada lagi,
tapi dalam bait-bait sajak ini,
kau tak akan kurelakan sendiri.
Â
Pada suatu hari nanti,
suaraku tak terdengar lagi,
tapi di antara larik-larik sajak ini.
Â
Kau akan tetap kusiasati,
pada suatu hari nanti,
impianku pun tak dikenal lagi,
namun di sela-sela huruf sajak ini,
kau tak akan letih-letihnya kucari.
Â
harus menjadi siut
mencintai air
harus menjadi ricik
mencintai gunung
harus menjadi terjal
mencintai api
harus menjadi jilat
Â
mencintai cakrawala
harus menebas jarak
Â
mencintai-Mu
harus menjelma aku
Â
Hanya suara burung yang kau dengar
dan tak pernah kaulihat burung itu
tapi tahu burung itu ada di sana
Â
hanya desir angin yang kaurasa
dan tak pernah kaulihat angin itu
tapi percaya angin itu di sekitarmu
Â
hanya doaku yang bergetar malam ini
dan tak pernah kaulihat siapa aku
tapi yakin aku ada dalam dirimu
Â
Â