Kapanlagi.com - Kejatuhan Bashar al-Assad sebagai Presiden Suriah telah mengguncang dunia dan menjadi salah satu peristiwa paling mengejutkan tahun ini. Dalam waktu singkat, hanya 11 hari, pemberontak Suriah yang dipimpin oleh kelompok Islamis Hayat Tahrir al-Sham (HTS) berhasil merebut ibu kota, Damaskus. Konflik yang telah berlangsung lebih dari satu dekade ini tiba-tiba mencapai titik balik yang mengejutkan banyak pihak.
Salah satu faktor kunci di balik keberhasilan ini adalah menurunnya dukungan internasional terhadap Assad, terutama dari sekutunya, Rusia dan Iran. Serangan cepat yang dilancarkan oleh para pemberontak juga diperkuat oleh kurangnya motivasi di kalangan militer Suriah, yang selama ini tertekan oleh krisis ekonomi dan moral yang meruntuhkan semangat juang mereka. Tak pelak, muncul berbagai spekulasi, termasuk dugaan keterlibatan Israel dalam momen krusial ini.
Dalam laporan ini, kita akan mengupas tuntas kronologi kejadian, peran para aktor global, serta dampak besar yang menyertai jatuhnya rezim Assad. Mari kita simak langkah-langkah penting yang membawa perubahan besar di Suriah ini.
Pada 27 November, Aleppo kembali menjadi sorotan dunia ketika pemberontak Suriah melancarkan serangan kilat yang mengejutkan, merebut kendali kota strategis ini untuk pertama kalinya oleh kelompok Hayat Tahrir al-Sham (HTS). Langkah berani ini menandai babak baru dalam konflik Suriah yang telah stagnan selama bertahun-tahun, dengan HTS yang sebelumnya berakar kuat di Idlib menunjukkan taringnya melalui manuver cepat dan terencana.
Keberhasilan ini tak hanya mencerminkan kekuatan mereka, tetapi juga menjadi sinyal jelas bahwa pertahanan militer Assad mulai goyah, kehilangan wilayah demi wilayah dalam pertempuran yang semakin memanas.
Setelah meraih kemenangan gemilang di Aleppo, para pemberontak melanjutkan langkah berani mereka menuju Hama pada 3 Desember, dan hanya dalam dua hari, kota tersebut pun jatuh ke tangan HTS. Momentum ini berlanjut dengan perebutan kota strategis Homs pada 7 Desember.
Analis mengungkapkan bahwa lemahnya dukungan dari Rusia dan Iran menjadi faktor kunci di balik kekalahan rezim Assad, sementara serangan masif ini juga menyoroti betapa tidak siapnya pemerintah dalam menghadapi gempuran di berbagai lini.
Damaskus, jantung Suriah, menjadi saksi bisu dari sebuah perubahan monumental ketika pada 8 Desember, kelompok Hay'at Tahrir al-Sham (HTS) merayakan kemenangan gemilang mereka dengan menguasai pusat kekuasaan Assad. Dalam suasana yang penuh semangat, pemimpin HTS, Abu Mohammed al-Jolani, mengumumkan lahirnya era baru bagi Suriah yang kini dikuasai oleh para pemberontak, seraya menekankan pentingnya rekonsiliasi nasional dan pengusiran pengaruh asing, khususnya Iran, dari tanah air mereka.
Momen ini tidak hanya dianggap sebagai kemenangan militer, tetapi juga sebagai tonggak sejarah yang menjanjikan harapan baru bagi masa depan Suriah.
Perdana Menteri Israel, Benjamin Netanyahu, baru-baru ini mengeluarkan pernyataan yang memicu perdebatan hangat, mengklaim bahwa langkah-langkah Israel terhadap Iran dan Hizbullah secara tak langsung mendukung pemberontak dalam merebut wilayah dari tangan Assad.
Namun, sejumlah analis segera meragukan klaim tersebut, berpendapat bahwa kejatuhan Assad lebih dipengaruhi oleh dinamika internal yang kompleks serta perhatian Rusia yang kini teralihkan ke konflik di Ukraina.
Jatuhnya Bashar al-Assad menandai dimulainya babak baru yang dramatis dalam sejarah Suriah. Dengan pelarian Assad ke Rusia, berbagai spekulasi merebak mengenai nasib negeri yang kini dikuasai oleh kelompok Islamis. Banyak negara, termasuk Amerika Serikat, memandang kejatuhan ini sebagai peluang emas untuk merestorasi Suriah, namun tantangan besar masih membayangi, terutama dalam upaya menjaga stabilitas di tengah dinamika kekuatan politik yang terus berubah.
Dukungan internasional yang mulai meredup dari Rusia dan Iran, ditambah dengan krisis ekonomi dan moral yang melanda militer Suriah, telah menjadi pemicu utama keruntuhan kekuatan yang selama ini mereka banggakan.
HTS, yang merupakan kelompok Islamis Sunni dengan latar belakang afiliasi bersama Al-Qaeda, kini tengah berupaya merombak citranya demi meraih pengakuan di kancah internasional. Dalam langkah strategis ini, mereka berusaha menunjukkan wajah baru yang lebih moderat, berharap bisa menarik perhatian dunia dan mendapatkan legitimasi yang selama ini diidamkan.
Israel dikabarkan sedang menekan Iran dan Hizbullah, langkah yang secara tak langsung berpotensi menggerogoti kekuatan rezim Assad. Meski demikian, apakah Israel terlibat langsung dalam konflik ini masih menjadi bahan perdebatan hangat di kalangan pengamat dan analis.