Kapanlagi.com - Belakangan ini, kode misterius "1312" dan singkatan "ACAB" tengah menjadi perbincangan hangat di dunia maya, terutama di platform X (yang sebelumnya dikenal sebagai Twitter) dan Instagram. Kedua simbol ini telah menjadi suara protes masyarakat terhadap tindakan kepolisian yang dinilai represif dan tidak etis. Viralitas lagu "Bayar Bayar Bayar" dari band punk Sukatani, yang kemudian ditarik dari peredaran disertai permintaan maaf kepada pihak kepolisian, telah memicu kembalinya penggunaan kode-kode ini di jagat digital Indonesia.
ACAB, yang merupakan singkatan dari 'All Cops Are Bastards' atau dalam bahasa Indonesia berarti 'Semua Polisi Adalah Bajingan', telah lama menjadi ungkapan kontroversial sebagai bentuk perlawanan terhadap otoritas kepolisian. Kode angka "1312" sendiri merupakan representasi numerik dari ACAB, di mana setiap angka menggambarkan huruf dalam alfabet (A=1, B=2, C=3, dan seterusnya). Jadi, 1312 = A C A B = ACAB.
Penggunaan kode ini bukanlah hal baru. Sejarah mencatat bahwa simbol ini telah digunakan sebagai bentuk protes selama beberapa dekade, pertama kali muncul di Inggris pada tahun 1940-an di kalangan pekerja yang melakukan aksi mogok. Sejak saat itu, kode ini meluas melalui berbagai media, seperti grafiti, tato, dan lainnya, terutama di kalangan subkultur punk yang dikenal dengan semangat anti-otoriternya. Berikut fakta-faktanya, dirangkum Kapanlagi.com, Jumat (21/2).
Dalam gelombang protes yang mengguncang dunia, kode 1312 dan ACAB kembali mencuri perhatian setelah peristiwa-peristiwa yang menyentuh hati dan memicu kemarahan publik, seperti kematian George Floyd di AS dan Tragedi Kanjuruhan di Indonesia.
Kini, setelah kasus band punk Sukatani dan lagu "Bayar Bayar Bayar" menjadi viral, masyarakat semakin lantang menggunakan kode ini sebagai simbol perlawanan terhadap apa yang mereka anggap sebagai penyalahgunaan kekuasaan oleh aparat penegak hukum.
Dukungan warganet terhadap band tersebut mencerminkan sentimen mendalam yang meluap-luap, mengekspresikan kegelisahan dan ketidakpuasan terhadap kinerja kepolisian yang dinilai melampaui batas. Kode 1312 dan ACAB bukan sekadar istilah, tetapi menjadi suara bagi mereka yang mendambakan keadilan dan transparansi di tengah situasi yang semakin memanas.
Penting untuk dicatat bahwa penggunaan kode 1312 dan ACAB tidak serta merta mencerminkan pandangan negatif terhadap seluruh anggota kepolisian. Kode ini lebih merupakan simbol kritik terhadap sistem dan tindakan tertentu yang dianggap tidak adil, sebagai bentuk protes terhadap perilaku oknum yang menyimpang, bukan terhadap institusi secara keseluruhan.
Munculnya kode ini di media sosial juga menunjukkan betapa pentingnya transparansi dan akuntabilitas dalam penegakan hukum. Kritik dan protes publik perlu disikapi dengan bijak oleh pihak kepolisian sebagai bentuk evaluasi diri dan perbaikan kinerja. Dialog dan komunikasi yang terbuka antara kepolisian dan masyarakat sangat penting untuk membangun kepercayaan dan hubungan yang lebih baik.
Kode 1312 adalah bentuk numerik dari akronim ACAB, yang masing-masing angka mewakili posisi huruf dalam alfabet:
1 = A3 = C1 = A2 = B, dengan demikian, 1312 adalah bentuk tersamar dari ACAB, yang memiliki arti "All Cops Are Bastards".
Kode ini sering digunakan dalam berbagai bentuk grafiti, tato, hingga lirik lagu punk untuk mengekspresikan perlawanan terhadap aparat kepolisian yang dianggap menyalahgunakan kekuasaan atau bertindak represif terhadap masyarakat.
Kode 1312 dan slogan ACAB kembali trending di media sosial karena beberapa alasan utama:
Banyak pengguna X dan Instagram yang ikut menyebarkan kode 1312, baik sebagai bentuk dukungan terhadap protes maupun sekadar mengikuti tren yang sedang berkembang.Dengan kondisi tersebut, ACAB tetap menjadi simbol yang kuat bagi mereka yang menuntut keadilan dan reformasi di tubuh kepolisian.
Selain sebagai tren di media sosial, kode 1312 dan ACAB sering muncul dalam berbagai bentuk ekspresi publik:
Penggunaan kode 1312 memungkinkan para aktivis menyampaikan pesan protes mereka tanpa langsung menyebutkan ACAB secara eksplisit, sehingga lebih sulit dideteksi oleh algoritma media sosial yang menyaring konten sensitif.
Tidak. ACAB umumnya digunakan sebagai kritik terhadap sistem kepolisian yang dianggap korup atau represif, bukan menyerang individu polisi secara keseluruhan.
Kode 1312 digunakan sebagai cara menghindari sensor atau pemblokiran di media sosial yang mungkin membatasi kata-kata kasar atau kontroversial.
Meskipun awalnya populer di komunitas punk dan anarkis, ACAB kini digunakan lebih luas dalam berbagai gerakan sosial yang menentang kekerasan polisi dan pelanggaran HAM.