"Pada Jumat tanggal 10 Januari 2025, KPK melakukan serangkaian tindakan penyidikan berupa penyitaan uang dalam mata uang rupiah sebesar Rp350.865.006.126,78," terang Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto.
Kapanlagi.com - Rita Widyasari, mantan Bupati Kutai Kartanegara (Kukar), Kalimantan Timur, yang dulunya dikenal sebagai sosok pemimpin yang berprestasi, kini terjerat dalam pusaran hukum yang mengkhawatirkan. Setelah menjabat selama dua periode, ia kini harus menghadapi konsekuensi dari dugaan keterlibatannya dalam kasus gratifikasi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang tengah diselidiki oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Dalam penyelidikan yang intensif, KPK telah melakukan berbagai penyitaan terhadap aset-aset yang diduga merupakan hasil dari praktik korupsi yang dilakukan oleh Rita selama masa kepemimpinannya. Pada awal Januari 2025, KPK berhasil menyita uang tunai sebesar Rp350,8 miliar dari 36 rekening, serta mata uang asing yang nilainya mencapai jutaan dolar, tersebar di beberapa rekening yang terkait dengan dirinya.
Seiring dengan berkembangnya proses penyidikan, semakin terkuak keterlibatan sejumlah pihak dalam aliran dana yang diduga berasal dari gratifikasi tambang batu bara di Kukar. Hal ini menunjukkan bahwa kasus ini tidak hanya melibatkan Rita sebagai individu, tetapi juga melibatkan berbagai pihak lain yang memiliki koneksi erat dengan struktur perizinan di daerah tersebut. Lantas seperti apa latar belakang sosoknya? Simak informasinya berikut, dirangkum Kapanlagi.com, Kamis (20/2)
Sebelum terjerat dalam pusaran kasus korupsi, politisi Partai Golkar yang lahir pada 7 November 1973 ini mencatatkan prestasi gemilang dengan memenangkan pemilihan Bupati Kukar selama dua periode. Pada periode pertamanya (2010-2015), ia berduet dengan Gufron Yusuf, dan di periode kedua (2016-2021) bersama Edi Damansyah.
Kesuksesannya tak lepas dari pengaruh ayahnya, seorang tokoh politik terkemuka di Kukar, meskipun jejak kelam ayahnya yang juga pernah terlibat kasus korupsi pada tahun 2007 seolah menghantui langkahnya.
Dengan latar belakang pendidikan yang mengesankan S1 dari Universitas Padjadjaran, S2 dari Universitas Soedirman, dan S3 dari Universitas Utara Malaysia ia seharusnya menjadi panutan, namun semua itu sirna ketika kasus korupsi yang menimpanya terkuak. KPK pun tak tinggal diam, menggunakan metode 'follow the money' untuk menelusuri aliran dana dan menyelidiki aset-aset lain yang diduga terkait dengan pencucian uang.
Penyitaan aset-aset bernilai ratusan miliar rupiah, termasuk uang tunai dan mobil mewah, dari kediaman Japto Soerjosoemarno, menunjukkan keseriusan KPK dalam memulihkan kerugian negara dan menegakkan keadilan.
Kasus korupsi yang melibatkan Rita Widyasari ternyata lebih rumit dari yang diperkirakan, dengan KPK menggali lebih dalam aliran dana yang diduga mengalir ke sejumlah pihak, termasuk nama-nama besar seperti Japto Soerjosoemarno dan Ahmad Ali. Dalam penyelidikan ini, KPK berhasil menyita uang tunai yang fantastis, mencapai Rp350,865 miliar, tersebar di 36 rekening milik Rita dan rekan-rekannya.
Tak hanya itu, mereka juga menemukan mata uang asing senilai 6,2 juta Dolar AS dan 2 juta Dolar Singapura, yang jika dijumlahkan setara dengan lebih dari Rp125 miliar. Kasus ini semakin rumit dengan adanya dugaan suap terkait izin kelapa sawit, dan KPK bertekad untuk memaksimalkan pengembalian aset hasil korupsi serta menyelesaikan perkara tindak pidana pencucian uang (TPPU) yang berkaitan.
"Pada Jumat tanggal 10 Januari 2025, KPK melakukan serangkaian tindakan penyidikan berupa penyitaan uang dalam mata uang rupiah sebesar Rp350.865.006.126,78," terang Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto.
Dalam langkah tegas untuk menuntaskan kasus korupsi yang melibatkan Rita Widyasari, KPK tak hanya menyita berbagai aset berharga seperti uang tunai, rekening bank, dan barang-barang mewah, tetapi juga berhasil menggali lebih dari 500 dokumen transaksi keuangan yang mencurigakan.
Dalam serangkaian penggeledahan, kendaraan-kendaraan mewah seperti Lamborghini, McLaren, dan Mercedes Benz yang diduga dibeli dengan uang hasil kejahatan pun berhasil disita.
Saat ini, Rita masih menjalani hukuman 10 tahun penjara di Lapas Perempuan Pondok Bambu sejak 2017, di mana ia juga harus membayar denda Rp600 juta atau menjalani tambahan enam bulan kurungan, serta kehilangan sejumlah aset yang kini menjadi barang bukti dalam kasus korupsinya.
Kasus Rita Widyasari telah menjadi sorotan tajam yang menggambarkan betapa dalamnya akar korupsi dapat merembet ke berbagai lapisan, tidak hanya melibatkan dirinya, tetapi juga menyentuh jaringan politik dan bisnis yang lebih luas.
Penyelidikan yang terus berkembang mengungkap aliran dana ilegal dari perusahaan pertambangan yang mengalir ke tangan pejabat daerah, menjadikan kasus ini salah satu yang paling monumental dalam sejarah politik lokal Indonesia.
Temuan ini menggarisbawahi urgensi pengawasan ketat dalam perizinan sektor sumber daya alam. Selain itu, penangkapan Rita memicu gelombang perubahan kebijakan di Kukar, mendorong evaluasi menyeluruh terhadap tata kelola pemerintahan demi mencegah terulangnya skandal serupa di masa depan.
Rita terlibat dalam gratifikasi dan pencucian uang terkait perizinan pertambangan di Kukar.
KPK menyita lebih dari Rp350 miliar, rekening bank, kendaraan mewah, serta tanah dan properti.
Kasus bermula dari dugaan suap pertambangan, berkembang menjadi gratifikasi, dan berujung pada penyitaan aset besar-besaran.
Kasus ini berdampak pada perombakan kepemimpinan daerah dan evaluasi terhadap kebijakan perizinan.
Saat ini, Rita menjalani vonis 10 tahun penjara di Lapas Perempuan Pondok Bambu, Jakarta.