Festival Teater Indonesia 2025 Tutup Perjalanan di Jakarta, Hadirkan Panggung Sastra dan Teater Nusantara

Festival Teater Indonesia 2025 Tutup Perjalanan di Jakarta, Hadirkan Panggung Sastra dan Teater Nusantara
Festival Teater Indonesia (FTI) 2025 / credit: istimewa

Kapanlagi.com - Festival Teater Indonesia (FTI) 2025 akan menutup rangkaian perhelatannya di Jakarta setelah sebelumnya sukses digelar di Medan, Palu, dan Mataram. Panggung Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, menjadi ruang temu terakhir bagi para seniman teater dari berbagai daerah pada 14-16 Desember 2025, dengan seluruh pertunjukan terbuka dan gratis untuk publik.

Sebagai perhelatan perdana berskala nasional, FTI dihadirkan sebagai ruang sirkulasi gagasan, perjumpaan lintas wilayah, serta wadah ekspresi bagi ekosistem teater Indonesia. Festival ini merupakan kolaborasi TITIMANGSA dan PENASTRI (Perkumpulan Nasional Teater Indonesia), dengan dukungan Direktorat Jenderal Pengembangan, Pemanfaatan, dan Pembinaan Kebudayaan, Kementerian Kebudayaan RI.

Mengusung tema Sirkulasi Ilusi, FTI 2025 menyoroti pertemuan antara realitas dan representasi dalam kehidupan kontemporer melalui adaptasi karya sastra ke panggung teater. Jakarta menjadi penanda akhir perjalanan festival sekaligus ruang perayaan bagi praktik teater yang beragam, reflektif, dan saling terhubung.

1. Jakarta sebagai Panggung Penutup Festival

Festival Teater Indonesia (FTI) 2025 / credit: istimewa

Sebanyak lima kelompok teater dan seniman individu terpilih akan tampil di Jakarta, mewakili berbagai wilayah Indonesia dengan latar budaya dan pendekatan artistik yang beragam. Seluruh karya yang dipentaskan merupakan adaptasi dari karya sastra Indonesia, menghadirkan dialog antara teks dan panggung dalam bentuk pertunjukan kontemporer.

Festival Teater Indonesia dirancang sebagai titik temu nasional yang tidak hanya berpusat di kota besar tertentu. Dengan menjadikan Jakarta sebagai kota terakhir, FTI menegaskan posisinya sebagai ruang konsolidasi gagasan sekaligus perayaan atas keberagaman praktik teater yang telah berkeliling lintas kota.

"Tahun ini adalah perhelatan pertama Festival Teater Indonesia. Saya sangat bersemangat dan berharap semua berjalan dengan lancar, sesuai dengan apa yang dicita-citakan dan dirancang dari jauh hari oleh teman-teman Titimangsa dan Penastri. Saya berharap kegiatan ini bukan hanya membuka ruang silaturahmi budaya dan kesusastraan, tetapi juga menjadi ruang untuk membuka diri, beradaptasi dengan satu sama lain dari seluruh Indonesia. Sebab setiap wilayah punya kebiasaan yang berbeda-beda. Meski kita punya latar belakang yang berbeda, usia yang berbeda, bahkan interes yang berbeda, panggung bisa menyatukan. Di Festival Teater Indonesia, kita mempererat tali persaudaraan, utamanya dalam ekosistem seni teater tanah air," ungkap Happy Salma, Penggagas Festival Teater Indonesia.

(Setelah 8 tahun menikah, Raisa dan Hamish Daud resmi cerai.)

2. Tema Sirkulasi Ilusi dan Arah Kuratorial

Festival Teater Indonesia (FTI) 2025 / credit: istimewa

Pada edisi perdananya, FTI mengangkat tema Sirkulasi Ilusi sebagai landasan konseptual festival. Tema ini menyoroti pergerakan ide, wacana, dan karya seni yang melintasi ruang, waktu, medium, serta komunitas, sekaligus mengajak penonton meninjau ulang hubungan antara realitas sosial dan representasinya di atas panggung.

Dalam catatan kuratorial, "sirkulasi" dipahami sebagai proses pertemuan dan pertukaran pengetahuan yang membentuk pengalaman kolektif baru. Sementara "ilusi" menjadi strategi konseptual untuk membangun lapisan makna dan persepsi kritis atas realitas kontemporer melalui bahasa teater.

"Pertama, program penguatan ekosistem sastra. FTI membuka ruang alih wahana karya sastra Indonesia ke panggung teater, menghidupkan sastra, memperluas makna, dan menciptakan pengalaman baru bagi publik. Kedua, program regenerasi melalui MTN Seni Budaya. FTI mempertemukan wajah-wajah baru teater Indonesia, mempersiapkan talenta yang suatu saat akan masuk ke skema pembinaan nasional. Kita ingin panggung teater kita dihuni generasi yang percaya diri, berjejaring kuat, dan relevan secara global. Dan terakhir, program pemerataan akses dan jejaring nasional. Dengan hadir di Medan, Palu, Mataram, dan Jakarta, serta melibatkan 20 kelompok teater, kita menggeser pusat gravitasi teater Indonesia agar tidak hanya berputar di kota-kota besar tertentu, tetapi hadir dan tumbuh di seluruh wilayah," ujar Fadli Zon.

3. Proses Kurasi, Pendampingan, dan Program Sayap

Sebelum pementasan, FTI telah membuka Panggilan Terbuka pada 25 Agustus-19 September 2025 yang menjaring 213 pendaftar dari 95 kabupaten/kota di 25 provinsi. Dari proses tersebut, terpilih 16 kelompok atau seniman serta 4 kelompok undangan yang mendapatkan pendanaan produksi dan pendampingan kuratorial intensif.

Pendampingan dilakukan untuk memastikan kesiapan artistik para seniman, sekaligus membantu mereka menyiasati keterbatasan waktu, anggaran, dan sumber daya. Proses ini dirancang secara dialogis dan kontekstual, menyesuaikan latar belakang serta kecenderungan praktik berkarya masing-masing seniman.

"Prinsip dasar tim kurator dalam memilih penampil Festival Teater Indonesia adalah, pertama, apa tawaran konseptual karya secara estetika maupun pilihan karya sastra yang diadaptasi. Kedua, kesesuaian kontekstual antara gagasan dengan realitas di kota penyelenggara. Dan terakhir, keadilan representasi, yaitu kami memastikan kesetaraan akses kewilayahan dan generasi. Keberagaman karya juga sangat penting, misalkan dalam gaya, medium, eksperimental, dan lainnya, sehingga penonton menyaksikan spektrum bentuk pertunjukan yang luas," jelas Sahlan Mujtaba.

Selain pementasan, FTI Jakarta juga menghadirkan berbagai program sayap seperti bincang karya, lokakarya, diskusi, simposium, jelajah panggung, hingga Teras FTI yang melibatkan komunitas dan UMKM setempat. Seluruh rangkaian kegiatan ini akan didokumentasikan dan diterbitkan dalam bentuk buku digital sebagai arsip pengetahuan dan jejak sejarah teater Indonesia.

(Hari patah hati se-Indonesia, Amanda Zahra resmi menikah lagi.)

Rekomendasi
Trending