Galon Guna Ulang Rawan Terkontaminasi BPA Kata BPOM

Penulis: Iwan Tantomi

Diperbarui: Diterbitkan:

Galon Guna Ulang Rawan Terkontaminasi BPA Kata BPOM
Credit via Shutterstock.com

Kapanlagi.com - Informasi tentang kontaminasi BPA pada galon guna ulang belakangan ini santer terdengar. Lantas, bagaimana kebenarannya? Rupanya, menurut Pelaksana Tugas Deputi Bidang Pengawasan Pangan Olahan Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM), Ema Setyawati, mayoritas memang kemasan galon air minum yang digunakan masyarakat rawan terkontaminasi senyawa kimia Bisfenol A atau BPA.

Ema pun menjelaskan latar peraturan anyar pelabelan bahaya BPA pada galon air minum bermerek. "Pengaturan dalam rangka melindungi masyarakat," kata Ema dalam sebuah wawancara yang ditayangkan situs Validnews.ID (2/8). Guna melindungi masyarakat ini pula, BPOM pun telah melakukan beberapa tindakan. Seperti apa?

1. BPOM Sahkan Penambahan Dua Pasal Baru

Pada 5 April 2024, BPOM mengesahkan penambahan dua pasal baru pada peraturan tentang Label Pangan Olahan, yakni kewajiban pencantuman label cara penyimpanan air minum kemasan (Pasal 48a) dan kewajiban pencantuman label peringatan risiko BPA pada semua galon air minum bermerek yang menggunakan kemasan polikarbonat (Pasal 61A).

Nantinya, saat masa tenggang (grace period) penerapan aturan tersebut berakhir pada 2028, produsen yang menggunakan kemasan polikarbonat, jenis galon berplastik keras yang paling jamak di pasar, wajib menerapkan peringatan: "Dalam kondisi tertentu, kemasan polikarbonat dapat melepaskan BPA pada air minum dalam kemasan".

(Ayo ikuti saluran WhatsApp KapanLagi.com biar enggak ketinggalan update dan berita terbaru seputar dunia hiburan tanah air dan juga luar negeri. Klik di sini ya, Klovers!)

2. Risiko Penyakit Akibat Kontaminasi BPA

Menjawab pertanyaan Validnews, Ema menyebut sejumlah penyakit yang berkorelasi dengan kontaminasi BPA pada tubuh, termasuk gangguan sistem reproduksi baik pria maupun wanita, diabetes dan obesitas, gangguan sistem kardiovaskular, gangguan ginjal, kanker, gangguan perkembangan kesehatan mental dan Autism Spectrum Disorder (ASD) pada anak.

Menurutnya, galon berbahan polikarbonat umumnya didistribusikan dengan sistem ‘guna ulang’, dimana produsen rutin menarik kembali galon kosong untuk dibersihkan di pabrik sebelum diisi dan dipasarkan kembali. Kontaminasi BPA pada galon guna ulang, demikian sebutan populernya, berpotensi terjadi bila proses pencucian dan distribusi galon "tidak tepat”.

Misalnya, saat produsen menyemprot galon bekas dengan suhu tinggi, menggunakan deterjen atau menggosok bagian dalam galon hingga tergores serta membiarkan galon terpapar sinar matahari langsung dalam waktu yang lama saat pengantaran ke konsumen. "Penggunaan berulang dari kemasan galon tersebut dapat berpotensi terjadinya migrasi/pelepasan BPA," katanya.

Karenanya, Ema mendesak industri melakukan "monitoring mandiri secara berkala" terhadap persyaratan keamanan dan kemasan pangan dan menerapkan cara produksi pangan olahan yang baik (CPPOB) secara konsisten, termasuk monitoring pengendalian proses, bahan baku dan kemasan.

Riset komprehensif BPOM kurun 2021-2022 mendapati peluruhan BPA pada galon air minum dengan kemasan plastik polikarbonat "menunjukkan kecenderungan yang mengkhawatirkan", dengan lima provinsi tercatat memiliki angka migrasi BPA melampaui ambang batas aman.

3. Waspadalah! Bahaya BPA Semakin Tinggi

Menurut Ema, otoritas keamanan dan mutu pangan di berbagai negara telah memperketat batas aman paparan BPA. Dia mencontohkan European Food Safety Authority pada April 2023 menetapkan nilai Tolerable Daily Intake (TDI) untuk BPA 20.000 kali lebih rendah, menjadi 0,002 mikrogram/kilogram berat badan/hari dari sebelumnya 4 mikrogram/kilogram berat badan/hari.

"Hal ini menunjukan tingkat risiko bahaya BPA yang semakin tinggi," katanya. Lebih jauh, Ema menyebut kebijakan pelabelan BPA berlatar keinginan pemerintah melindungi kesehatan publik.

Dikonsumsi seluruh kelompok usia, volume produksi air galon per tahunnya tercatat mencapai 21 miliar liter dengan total konsumen sebanyak 50,2 juta orang, atau 18% dari populasi Indonesia tahun 2020. Menurut Ema, "Berdasarkan risiko kesehatan, jumlah konsumsi, dan data produk beredar, BPOM memandang perlu untuk segera melakukan pengaturan label AMDK.”

(*)

(Ayo ikuti saluran WhatsApp KapanLagi.com biar enggak ketinggalan update dan berita terbaru seputar dunia hiburan tanah air dan juga luar negeri. Klik di sini ya, Klovers!)

(kly/tmi)

Reporter:

Iwan Tantomi