Mengenal Cancel Culture: Fenomena Viral yang Mengguncang Dunia Digital!
Kapanlagi.com - Film remake "A Business Proposal" versi Indonesia tampaknya menghadapi masalah besar dalam hal penonton. Salah satu penyebabnya adalah kontroversi yang melibatkan pemeran utamanya, Abidzar Al-Ghifari. Dalam sesi promosi film, Abidzar mengungkapkan bahwa ia hanya menonton satu episode dari versi asli drama Korea tersebut dan dengan tegas menyatakan bahwa ia tidak memerlukan penggemar K-Drama untuk menyaksikan filmnya. Pernyataan ini langsung memicu kemarahan publik, yang kemudian menyerukan gerakan boikot atau cancel culture terhadap film tersebut.
Kasus ini hanyalah salah satu contoh dari fenomena cancel culture yang semakin marak, terutama di era media sosial yang serba cepat. Meskipun sering dianggap sebagai bentuk hukuman sosial, cancel culture juga memicu perdebatan hangat karena dampaknya yang bisa sangat luas.
Lalu, apa sebenarnya yang dimaksud dengan cancel culture? Apakah ini merupakan bentuk keadilan sosial, atau justru menjadi sebuah ancaman? Tim Liputan6.com telah merangkum berbagai informasi untuk menjelaskan fenomena ini secara mendalam. Simak penjelasan lengkapnya yang akan menggugah pemikiran kita tentang dampak dan implikasi dari cancel culture di masyarakat kita.
Advertisement
1. Apa Itu Cancel Culture?
Cancel culture, atau budaya pembatalan, merupakan fenomena sosial modern yang mengguncang dunia maya, di mana suara ketidaksetujuan mampu menggema dengan cepat melalui media sosial. Berbeda dengan boikot konvensional, cancel culture memanfaatkan kekuatan jaringan online untuk mengekspresikan penolakan secara masif terhadap individu atau entitas yang dianggap ofensif.
Menurut Merriam-Webster, ini adalah praktik pembatalan kolektif untuk menunjukkan ketidakpuasan, sementara Cambridge Dictionary menyoroti perilaku yang menolak dukungan terhadap seseorang. Dalam praktiknya, cancel culture sering kali terlihat melalui seruan untuk memboikot, pencabutan dukungan publik, dan tekanan agar pelaku kontroversial meminta maaf.
Siapa pun bisa menjadi target—mulai dari selebriti hingga orang biasa—jika mereka terjebak dalam tindakan atau ucapan yang memicu kemarahan warganet.
(Setelah 8 tahun menikah, Raisa dan Hamish Daud resmi cerai.)
2. Sejarah dan Perkembangan Cancel Culture
Fenomena cancel culture mungkin bukan hal baru, namun kini ia semakin mencuat di tengah derasnya arus media sosial. Berawal dari blog Tumblr pada tahun 2010, khususnya di komunitas fandom "Your Fave Is Problematic", konsep ini mulai mengungkap sisi kelam idola dan tokoh publik yang dianggap bermasalah, memicu seruan boikot yang kini mudah menyebar di platform seperti Twitter, Instagram, YouTube, dan TikTok.
Sejak istilah ini populer pada tahun 2018, terutama setelah sejumlah selebriti seperti Taylor Swift dan Kanye West menjadi target kampanye boikot, bahkan mantan Presiden AS, Barack Obama, turut bersuara menyoroti dampak negatifnya yang sering kali lebih menjatuhkan daripada membawa perubahan.
Di Indonesia, meski sebelumnya kesalahan figur publik sering kali dimaafkan, kini dengan meningkatnya kesadaran sosial dan kekuatan media sosial, banyak yang harus menghadapi konsekuensi besar dari budaya ini.
3. Dampak Cancel Culture bagi Individu dan Masyarakat
Cancel culture sering kali dipandang sebagai senjata untuk menuntut pertanggungjawaban, namun dampaknya jauh lebih luas dan kompleks. Bagi mereka yang menjadi korban, tekanan psikologis yang dialami bisa sangat berat, sering kali berujung pada kecemasan, depresi, bahkan kehilangan pekerjaan.
Tidak hanya itu, stigma sosial yang melekat membuat mereka sulit untuk mendapatkan kepercayaan kembali, sementara kesempatan untuk belajar dari kesalahan pun sering kali terampas. Di sisi lain, pelaku cancel culture juga tidak luput dari dampak negatif; frustrasi dan kemarahan yang terus menggelora bisa membuat mereka semakin emosional, sementara empati terhadap kesalahan orang lain perlahan memudar.
Tak jarang, mereka yang terlibat dalam aksi ini justru mendapatkan kritik balik karena dianggap berlebihan. Di tingkat masyarakat, efeknya lebih jauh lagi: kebebasan berekspresi terancam, polarisasi antara kelompok yang pro dan kontra semakin tajam, dan informasi yang beredar sering kali tidak terverifikasi, berpotensi menimbulkan fitnah.
Cancel culture, dengan segala kompleksitasnya, menjadi cermin dari dinamika sosial yang perlu kita cermati dengan bijak.
4. Apakah Cancel Culture Selalu Buruk?
Meskipun cancel culture seringkali dipandang negatif, sebenarnya ia memiliki potensi untuk membawa perubahan positif jika diterapkan dengan bijak. Dengan memanfaatkan kekuatan ini, kita bisa menentang diskriminasi, rasisme, dan pelecehan seksual, serta mendorong individu dan perusahaan untuk bertanggung jawab atas kesalahan mereka, yang pada gilirannya dapat memicu perubahan sosial yang lebih baik.
Namun, kita harus berhati-hati, karena cancel culture bisa berbahaya jika digunakan untuk menyerang tanpa memberi kesempatan untuk perbaikan, atau jika didasarkan pada informasi yang tidak jelas dan berujung pada cyberbullying yang merusak kesehatan mental.
Oleh karena itu, penting untuk menyadari bahwa cancel culture bukanlah satu-satunya solusi; pendekatan edukatif dan dialog terbuka bisa menjadi alternatif yang lebih konstruktif dalam menyelesaikan masalah.
5. Bagaimana Menyikapi Cancel Culture Secara Bijak?
Jika Anda ingin menghadapi fenomena cancel culture dengan cara yang lebih konstruktif, ada beberapa langkah cerdas yang bisa diambil. Pertama, pastikan Anda memverifikasi kebenaran informasi sebelum terjun ke dalam arus tersebut.
Berikanlah kesempatan kepada individu untuk meminta maaf dan memperbaiki kesalahan mereka. Saat menyampaikan pendapat, hindarilah ujaran kebencian atau tindakan cyberbullying yang hanya akan memperburuk situasi.
Alih-alih fokus pada penjatuhan individu, lebih baik kita mengarahkan perhatian pada perubahan yang lebih luas dan bermakna. Cancel culture dapat berfungsi sebagai alat yang efektif jika digunakan dengan bijak; namun, jika hanya menjadi sarana perundungan massal, dampaknya bisa jauh lebih merusak daripada memperbaiki keadaan.
(Di usia pernikahan 29 tahun, Atalia Praratya gugat cerai Ridwan Kamil.)
(kpl/frr)
Advertisement
