Diterbitkan:
Kapanlagi.com - Hubungan antara Korea Selatan dan Korea Utara selalu menjadi sorotan dunia, bukan sekadar konflik biasa, melainkan sebuah drama sejarah yang penuh liku. Permusuhan ini lahir dari perpecahan ideologi, perang saudara, dan pengaruh besar dari negara-negara seperti Amerika Serikat dan Uni Soviet. Sejumlah upaya untuk menjalin rekonsiliasi sering kali berujung pada jalan buntu, tanpa solusi yang memadai.
Dahulu kala, Korea adalah satu kesatuan yang kaya dengan budaya dan tradisi. Namun, penjajahan Jepang selama 35 tahun mengubah segalanya. Setelah Perang Dunia II berakhir, kekalahan Jepang membuka lembaran baru yang memisahkan Korea menjadi dua bagian, masing-masing dipengaruhi oleh ideologi dan kekuatan yang bertentangan.
Seiring berjalannya waktu, ketegangan antara kedua negara semakin meningkat, terutama setelah berakhirnya Perang Korea yang hingga kini belum pernah secara resmi diselesaikan. Kondisi teknis perang masih membayangi, dengan kedua negara terpisah oleh Zona Demiliterisasi yang sarat dengan ketegangan.
Advertisement
Mari kita telusuri lebih dalam rekam jejak permusuhan yang telah berlangsung antara Korea Selatan dan Korea Utara, sebagaimana dirangkum oleh Liputan6 dari berbagai sumber pada Rabu (4/12).
Setelah berakhirnya Perang Dunia II pada tahun 1945, kekalahan Jepang membawa perubahan besar bagi Korea, yang selama 35 tahun terperangkap dalam cengkeraman kolonialisme. Dalam sebuah keputusan bersejarah, Sekutu membagi Korea di garis lintang 38 derajat, dengan Uni Soviet menguasai utara dan Amerika Serikat menguasai selatan.
Pembagian ini tidak hanya menciptakan dua wilayah yang terpisah, tetapi juga melahirkan dua rezim dengan ideologi yang bertolak belakang: rezim komunis di Korea Utara dan pemerintahan pro-demokrasi di Korea Selatan. Ketegangan yang muncul segera meluas menjadi konflik politik dan ideologis yang mendalam.
Gelombang migrasi pun terjadi, di mana banyak masyarakat kelas menengah dari utara berbondong-bondong melarikan diri ke selatan, sementara Korea Utara menjadi tempat berlindung bagi buruh dan petani yang mendukung kebijakan komunis. Kondisi ini semakin memperdalam jurang pemisah ideologi yang masih terasa hingga hari ini.
(Ayo ikuti saluran WhatsApp KapanLagi.com biar enggak ketinggalan update dan berita terbaru seputar dunia hiburan tanah air dan juga luar negeri. Klik di sini ya, Klovers!)
Pada tahun 1950, ketegangan yang membara antara Korea Utara dan Korea Selatan meledak menjadi Perang Korea, sebuah konflik yang mengguncang dunia. Dengan dukungan dari Uni Soviet dan Tiongkok, Korea Utara melancarkan serangan besar-besaran, sementara Amerika Serikat dan sekutunya tak tinggal diam, memberikan dukungan militer melalui Perserikatan Bangsa-Bangsa.
Selama tiga tahun yang penuh kekacauan ini, perang membawa kehancuran yang mengerikan, merenggut nyawa sekitar 2,5 juta orang tanpa mengakhiri perpecahan antara kedua negara. Alih-alih mendekatkan mereka, perang justru memperdalam jurang ideologi dan menambah kebencian Korea Utara terhadap Amerika. Meski gencatan senjata ditandatangani pada tahun 1953, tanpa adanya perjanjian damai yang resmi, kedua negara tetap terjebak dalam kondisi teknis perang, dengan ketegangan yang terus berkobar di sepanjang Zona Demiliterisasi (DMZ) hingga hari ini.
Advertisement
Di tengah ketegangan Perang Dingin, perbedaan mencolok antara Korea Utara dan Korea Selatan semakin terlihat jelas. Korea Utara, yang menggantungkan harapannya pada dukungan Uni Soviet, terjebak dalam sistem komunis dengan ekonomi yang terpusat. Namun, setelah runtuhnya Uni Soviet pada tahun 1990-an, negeri tersebut merasakan dampak pahit kehilangan sokongan ekonomi dan politik.
Di sisi lain, Korea Selatan melesat maju menjadi negara demokratis yang dinamis dengan ekonomi pasar yang kuat, berkat dukungan signifikan dari Amerika Serikat dan negara-negara Barat lainnya yang membantu membangun infrastruktur, teknologi, dan sistem pendidikan. Hal ini mengantarkannya menjadi salah satu negara terkemuka di Asia. Sementara itu, Korea Utara memilih jalur berisiko dengan mengembangkan program nuklir demi mempertahankan kedaulatannya, sebuah langkah yang semakin memicu ketegangan dengan Korea Selatan dan sekutunya, terutama Amerika Serikat, yang memandang Korea Utara sebagai ancaman serius bagi keamanan regional.
Sejak berdirinya pada tahun 1948, Korea Utara telah menjadi panggung bagi kekuasaan keluarga Kim yang berkuasa selama tiga generasi. Dimulai dengan Kim Il-sung, pendiri negara yang menciptakan rezim otoriter dengan pemujaan terhadap pemimpin, tradisi ini diteruskan oleh putranya, Kim Jong-il, dan kini cucunya, Kim Jong-un.
Di bawah kepemimpinan Kim Jong-un, Korea Utara semakin menegaskan diri dengan memperkuat militer dan mengembangkan senjata nuklir, langkah yang diambil untuk menunjukkan kekuatan di tengah tekanan internasional dan sanksi ekonomi yang menghimpit. Kebijakan isolasi total yang diterapkan oleh dinasti Kim membatasi akses rakyatnya terhadap informasi global, semakin menggarisbawahi jurang ideologi dan gaya hidup yang mencolok antara Korea Utara dan tetangganya, Korea Selatan.
Meski telah dilakukan berbagai upaya diplomatik, seperti pertemuan para pemimpin pada tahun 2018, hubungan antara Korea Utara dan Korea Selatan masih diselimuti ketidakpastian yang mengkhawatirkan.
Ketegangan kerap memuncak, terutama akibat latihan militer bersama antara Korea Selatan dan Amerika Serikat, serta pengujian rudal balistik yang dilakukan oleh Korea Utara. Zona Demiliterisasi menjadi simbol nyata dari perpecahan ini, dengan penjagaan ketat yang mencolok di kedua sisi.
Namun, masa depan hubungan kedua negara sangat ditentukan oleh dinamika politik di masing-masing wilayah serta peran krusial negara-negara besar dalam upaya menciptakan perdamaian yang langgeng.
Pasca-Perang Dunia II, Korea mengalami perpecahan yang mendalam akibat perbedaan ideologi, di mana Korea Utara mendapat dukungan dari Uni Soviet yang komunis, sementara Korea Selatan berada di bawah naungan Amerika Serikat yang menganut paham demokrasi. Konflik ideologis ini bukan hanya membagi wilayah, tetapi juga menciptakan ketegangan yang terus berlanjut hingga saat ini, menjadikan Korea sebagai salah satu contoh paling mencolok dari pertarungan antara dua kekuatan besar dunia.
Secara teknis, perang di Korea masih menggantung. Meskipun pertempuran berhenti pada tahun 1953 melalui gencatan senjata, hingga kini belum ada perjanjian damai resmi yang mengakhiri konflik tersebut.
Korea Utara tengah giat mengembangkan senjata nuklir sebagai langkah strategis untuk menjaga kedaulatan negaranya dan memproyeksikan kekuatan di tengah tekanan sanksi internasional yang terus membayangi.
Zona Demiliterisasi (DMZ) berfungsi sebagai perbatasan yang memisahkan Korea Utara dan Korea Selatan, lahir dari ketegangan yang menyelimuti pasca Perang Korea. Garis ini bukan sekadar pembatas fisik, melainkan simbol dari sejarah kelam yang memisahkan dua bangsa, di mana setiap langkah di dalamnya terasa berat oleh kenangan konflik yang belum sepenuhnya teratasi.
(Ayo ikuti saluran WhatsApp KapanLagi.com biar enggak ketinggalan update dan berita terbaru seputar dunia hiburan tanah air dan juga luar negeri. Klik di sini ya, Klovers!)
(kpl/ank)
Advertisement
Potret Penampilan Kasual Sherina Munaf Selalu Banjir Pujian, Awet Muda di Usia 34 Tahun
Ungkapan Bangga Cut Tari Atas Kemenangan Sydney Raih Juara 1 Gadis Sampul 2024
Tiap Hari Muncul Berita Agus di Sosmed, Hotman Paris: Bosen, Capek
Lekat Dengan Julukan Aktris Cilik Antagonis, Ini 7 Potret Transformasi Gisela Cindy
Potret & Profil Berlliana Lovell, Penyanyi dan Selebgram yang Dulu Pernah Jadi Seorang Pengamen Jalanan