Kapanlagi.com - Tjhwa Hiang Nio, atau Shirley Kristiani Widjihandayani menceritakan momen-momen mendebarkan saat tampil di depan Presiden Soekarno.
Kisah yang masih dikenang Sherly ketika memerankan tokoh Dewi Anggraeni dalam judul Palguna Palgunadi di Semarang. Peran itu sering dimainkan tetapi dirasakan yang paling berat karena harus bergulung-gulung 'dianiaya' di atas panggung.
"Waduh itu paling soro, digebuki. Kan ceritanya itu kesetiaan, roman kesetiaan sama suaminya. Anggraeni dipukuli dianggap nggak setia, sampai glutung-gluntung," kisahnya.
Kisahnya Dewi Anggraeni ditinggal oleh Palgunadi, suaminya. Tetapi diuber-uber oleh Palguno sampai ke khayangan. Palgunadi pun tidak terima menyangka Dewi Anggraeni tidak setia dan selingkuh.
"Itu dulu, saat masih muda, sekarang suruh berdiri dan jalan saja tidak bisa. Kalau dikenang, kapan bisa kembali lagi, kan nggak bisa ya," ungkapnya.
Setiap pertunjukan, Sherly dituntut memahami karakter tokoh yang peraninya. Banyak tokoh yang menjadi langganan aktingnya selain Dewi Anggraeni, yakni Arjuno, Kresno dan Rama.
Selain itu, Sherly juga dituntut mampu maes (make up) karakter-karakter yang dimainkan tersebut. Karena selama manggung dituntut mandiri dalam merias diri, mengingat keterbatasan jumlah personel.
"Kalau make up wajahnya tetap, yang berubah-ubah. Itu kuluknya (mahkota) beda-beda. Kalau Serimpi gini, Srikandi pendek, Arjuno mlungker, Resi Supadio mahkotanya tinggi. Kalau Srikandi dan Janoko pakai panah," urainya.
Karena pemain rata-rata masih usia sekolah, Ang Hien Hoo hanya manggung saat datang liburan. Pertunjukkan paling banyak digelar pada malam Minggu, sehingga Senin bisa kembali ke sekolah.
Karena itu, keluarga Sherly yang tidak memiliki latar belakang seniman mendukung penuh setiap pementasan. Bahkan mereka selalu ikut mendampingi berkeliling dari panggung ke panggung.
"Tidak ganggu sekolah. naik kelas terus kok. Cuma sondok (agak) ngantuk di kelas," ungkapnya.
Terkait sekolah, Sherly mengaku mempunyai cerita unik saat pentas dua malam berturut-turut di Sidoarjo. Kala itu pementasan digelar Sabtu dan Minggu, padahal, Senin harus ulangan mata pelajaran Sejarah.
"Jadi Minggu masih main, Seninnya ulangan. Waduh gimana, bingung. Jadi jam 4 pagi saya sudah pulang dari Sidoarjo. Minta sama pengurus diantarkan jam 4 pagi dari Sidoarjo ke Malang, dulu masih naik truk," kisahnya.
Tidak sampai di situ saja, Sherly tidak sempat membersihkan make up di wajahnya secara sempurna. Coretan pensil alis tidak hilang saat dibersihkan, karena itu sempat ditertawakan oleh gurunya.
"Itu sampai di sekolah masih kepet, celak-celaknya itu masih nempel, guru saya itu tertawa," ungkapnya.
Sherly pun berhasil menyelesaikan pendidikannya Jurusan Sastra Inggris, IKIP Malang (sekarang UM) Tahun 1965. Ia sempat menjadi guru di SMP Santa Maria Malang sampai 1965.
Sherly eksis di Ang Hien Hoo sejak remaja, saat masih pelajar di Sekolah Katolik Panderman Malang sampai usia 25 tahun. Pernikahannya pada 1971 membuatnya sibuk mengurus anak-anak, kendati memang sudah mulai mati suri.
Semasa awal pemerintahan Presiden Soeharto masih sempat manggung, sebelum kemudian tidak manggung lagi hingga sekarang ini. Faktor regenerasi dan gempuran budaya barat saat itu menjadi penyebab utamanya.
"Kita nggak berhubungan dengan politik. Di masa Soeharto sempat manggung tapi nggak lama, tahun 70 sudah berhenti," kata perempuan kelahiran Malang, 28 Agustus 1943.
Sherly mengaku beruntung hidup dalam lingkungan keluarga yang mencintai kesenian wayang orang. Tapi disayangkan kesenian panggung warisan leluhur itu nyaris tidak lagi dapat ditemukan di Malang.
"Kita cinta Indonesia ya, cinta kebudayaan Indonesia. Yang muda-muda sudah modern, nggak mau meneruskan," katanya.
Sherly juga mengaku sudah kesulitan menemukan pertunjukkan kesenian wayang orang. Panggung-panggung pertunjukkan sudah tidak menyajikan kesenian Jawa, begitu juga siaran televisi.
"Sekarang yang dianut sing ora-ora. Wis beda zaman," pungkasnya.