Kapanlagi.com - Mary Jane Veloso, seorang wanita asal Filipina, telah mencuri perhatian dunia dengan kisahnya yang dramatis seputar penyelundupan narkoba di Indonesia. Pada tahun 2010, hidupnya berubah drastis ketika ia ditangkap di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta, dengan membawa 2,6 kilogram heroin. Hukuman mati dijatuhkan padanya, dan sejak saat itu, Mary Jane terjebak dalam perjuangan panjang yang melibatkan diplomasi dan hukum.
Namun, harapan mulai terbit bagi Mary Jane. Pada 18 Desember 2024, dia akhirnya kembali ke tanah kelahirannya, Filipina, setelah lebih dari satu dekade berjuang menghadapi ketidakpastian hukum. Dengan mengenakan kaos hitam sederhana, Mary Jane melangkah keluar dari Lapas Pondok Bambu pada malam 17 Desember 2024, menandai awal babak baru dalam hidupnya.
Kisah Mary Jane bukan hanya tentang perjuangan individu, tetapi juga mengungkapkan realitas pahit perdagangan manusia yang sering kali menjadikan korban sebagai pelaku. Simak kronologi lengkap perjalanan kasusnya berikut ini.
Mary Jane Veloso, seorang wanita yang terjebak dalam jeratan hukum, ditangkap pada April 2010 di Bandara Adisutjipto, Yogyakarta, dengan tuduhan menyelundupkan 2,6 kilogram heroin.
Meski ia bersikeras tidak mengetahui isi koper yang dibawanya, keputusan pengadilan pada Oktober 2010 tetap menjatuhkan hukuman mati, mengacu pada Pasal 114 ayat 2 UU Narkotika.
Upaya hukum yang dilakukannya, mulai dari banding hingga permohonan grasi kepada Presiden Joko Widodo, semuanya berujung pada penolakan, menambah berat beban ancaman hukuman yang mengintainya.
Mary Jane, yang seharusnya menjalani eksekusi mati pada 29 April 2015, mendapatkan secercah harapan ketika Presiden Filipina saat itu, Benigno Aquino III, meminta agar ia dijadikan saksi dalam kasus perdagangan manusia di negaranya.
Meskipun sudah dipindahkan ke Nusakambangan pada hari yang ditentukan, keputusan Kejaksaan Agung Indonesia untuk menunda eksekusi demi pertimbangan kemanusiaan memberi Mary Jane kesempatan baru untuk membuktikan dirinya sebagai korban dari jaringan perdagangan manusia internasional yang kejam.
Dalam sebuah langkah diplomasi yang penuh harapan, pemerintah Filipina dan Indonesia akhirnya mencapai kesepakatan untuk menyelamatkan Mary Jane, seorang wanita yang terjebak dalam jeratan hukum.
Puncak dari upaya panjang ini terjadi pada 6 Desember 2024, ketika Menteri Hukum Indonesia, Yusril Ihza Mahendra, resmi menandatangani perjanjian pemindahan Mary Jane bersama Wakil Menteri Kehakiman Filipina, Raul Vasquez.
Kesepakatan ini memberi kesempatan bagi Mary Jane untuk menjalani hukuman di tanah airnya, tanpa mengubah status hukuman yang telah ditetapkan oleh pengadilan Indonesia.
Dalam momen bersejarah ini, Presiden Filipina, Ferdinand Marcos Jr, menyampaikan rasa terima kasihnya kepada Presiden Prabowo Subianto atas kerjasama yang luar biasa ini.
Mary Jane, seorang ibu tunggal yang berjuang untuk memperbaiki kehidupan keluarganya, kini menjadi suara bagi banyak korban perdagangan manusia setelah terjebak dalam skenario kelam yang dirancang oleh Maria Kristina Sergio, perekrut licik yang telah dijatuhi hukuman di Filipina.
Dengan harapan mendapatkan pekerjaan yang lebih baik, Mary Jane justru menerima koper misterius yang berisi heroin, mengubah hidupnya menjadi mimpi buruk.
Kisahnya bukan hanya sekadar cerita tragis, tetapi juga sebuah panggilan untuk meningkatkan kesadaran global mengenai praktik keji perdagangan manusia yang terus merajalela.
Mary Jane, yang masih menyandang status terpidana dalam kasus narkoba, kini menjalani masa hukumannya di Filipina. Hal ini merupakan hasil dari kesepakatan antara pemerintah Indonesia dan Filipina, yang memberikan warna baru dalam perjalanan hidupnya.
Mary Jane, yang kini menjadi sorotan publik, diduga kuat terjebak dalam jaring perdagangan manusia setelah direkrut secara ilegal dan dipaksa menjalani peran sebagai kurir narkoba tanpa sepengetahuannya.
Selama bertahun-tahun, Filipina telah mengupayakan jalur diplomasi yang intens, termasuk permohonan untuk menunda eksekusi mati Mary Jane, agar ia dapat memberikan kesaksian yang krusial melawan para perekrutnya.
Kasus ini menjadi bukti nyata betapa eratnya kolaborasi antara kedua negara dalam memerangi perdagangan manusia dan peredaran narkoba, sekaligus menyoroti betapa krusialnya pendekatan kemanusiaan dalam setiap langkah penegakan hukum yang diambil.