Diperbarui: Diterbitkan:
Kapanlagi.com - Istilah "rakyat jelata" belakangan ini tengah menjadi sorotan di kalangan masyarakat, terutama setelah diucapkan oleh Juru Bicara Kepresidenan, Adita Irawati. Pernyataan ini memicu polemik, dengan banyak pihak mempertanyakan sensitivitas penggunaan istilah tersebut dalam komunikasi publik.
Secara linguistik, "rakyat jelata" memiliki arti yang netral. Namun, dalam konteks sosial dan budaya, istilah ini sering kali dianggap merendahkan, karena konotasinya yang merujuk pada lapisan masyarakat yang lebih rendah. Polemik ini pun membuka wacana lebih luas tentang bagaimana bahasa tidak hanya mencerminkan, tetapi juga membentuk persepsi publik.
Lantas, apa sebenarnya makna dari "rakyat jelata," dan mengapa istilah ini bisa menjadi begitu kontroversial? Mari kita telusuri lebih dalam arti istilah ini, seperti dilansir Kapanlagi.com dari berbagai sumber, Jumat (6/12).
Advertisement
Dalam khazanah bahasa Indonesia, istilah "rakyat jelata" memiliki makna yang kaya, merujuk pada masyarakat biasa dari lapisan bawah yang tidak memiliki status atau kedudukan tinggi.
Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), istilah ini menjadi penanda perbedaan antara golongan bangsawan dan rakyat umum dalam konteks sejarah.
Namun, seiring berjalannya waktu, arti dan nuansa dari istilah ini mengalami perubahan, sering kali berkonotasi negatif, terutama ketika diucapkan dalam situasi yang penuh sensitivitas.
(Ayo ikuti saluran WhatsApp KapanLagi.com biar enggak ketinggalan update dan berita terbaru seputar dunia hiburan tanah air dan juga luar negeri. Klik di sini ya, Klovers!)
Sejak zaman kerajaan, istilah "rakyat jelata" telah menjadi simbol bagi mereka yang tidak memiliki status istimewa, menciptakan narasi yang kuat tentang perjuangan masyarakat kecil melawan ketidakadilan dalam budaya Indonesia.
Namun, seiring berjalannya waktu, istilah ini mulai jarang terdengar dalam komunikasi formal modern, karena bisa dianggap merendahkan. Kini, istilah seperti "masyarakat umum" atau "warga biasa" lebih sering digunakan untuk menggambarkan kelompok yang sama, mencerminkan perubahan cara pandang kita terhadap keadilan sosial.
Advertisement
Kontroversi mengenai istilah "rakyat jelata" meledak setelah Juru Bicara Kepresidenan Adita Irawati menggunakannya dalam pernyataan resmi, memicu reaksi beragam dari masyarakat. Banyak yang merasa bahwa istilah tersebut mencederai etika komunikasi publik dan dapat merendahkan martabat masyarakat.
Di dunia maya, perdebatan pun semakin hangat; sementara sebagian netizen membela istilah itu sebagai bagian dari bahasa formal, yang lain menekankan pentingnya kehati-hatian pejabat publik dalam memilih kata-kata, menciptakan suasana diskusi yang penuh warna dan ketegangan.
Setelah menuai gelombang kritik yang cukup deras, Adita Irawati akhirnya angkat bicara dengan memberikan klarifikasi dan permohonan maaf atas pernyataannya yang kontroversial.
Ia menegaskan bahwa tidak ada maksud sedikit pun untuk merendahkan masyarakat, dan berjanji akan lebih berhati-hati dalam memilih kata-kata di masa depan.
Tanggapan masyarakat pun beragam; sementara sebagian orang menghargai sikap permohonan maafnya, ada juga yang berpendapat bahwa insiden ini mencerminkan pentingnya pelatihan komunikasi yang lebih mendalam bagi para pejabat publik.
Di berbagai belahan dunia, istilah yang sepadan dengan "rakyat jelata" muncul, seperti "commoner" dalam bahasa Inggris, yang secara harfiah berarti rakyat biasa. Meski memiliki makna serupa dengan konteks di Indonesia, di negara-negara Barat istilah ini lebih bersifat netral dan tidak mengandung konotasi merendahkan.
Fenomena ini mengungkapkan betapa kuatnya pengaruh budaya terhadap cara kita memandang sebuah kata. Dalam komunikasi publik, para ahli merekomendasikan penggunaan istilah yang lebih inklusif dan netral, seperti "masyarakat umum" atau "warga negara," untuk menghindari kesalahpahaman dan memperkuat hubungan harmonis antara pemerintah dan masyarakat.
Dalam khazanah bahasa Indonesia, istilah "rakyat jelata" merujuk pada masyarakat biasa, mereka yang berasal dari lapisan bawah.
Kontroversi meletus ketika istilah ini dinilai memiliki makna yang merendahkan, terutama saat dipakai dalam konteks komunikasi publik yang resmi.
Di negara-negara Barat, istilah seperti "commoner" memiliki konotasi yang netral dan tidak dianggap merendahkan, berbeda jauh dengan pandangan yang berkembang di Indonesia, di mana istilah tersebut sering kali dipandang dengan nada yang lebih negatif.
Dalam dunia komunikasi formal, istilah seperti "masyarakat umum," "warga biasa," atau "rakyat biasa" menjadi pilihan yang lebih bijak dan peka, mencerminkan penghormatan terhadap keberagaman suara dan pengalaman setiap individu.
(Ayo ikuti saluran WhatsApp KapanLagi.com biar enggak ketinggalan update dan berita terbaru seputar dunia hiburan tanah air dan juga luar negeri. Klik di sini ya, Klovers!)
(kpl/rmt)
Advertisement
Perankan Nadine di Series 'MAIN API', Netizen: Baru Kali Ini Sebel sama Luna Maya
Profil Benny Blanco, Produser Musik yang Baru Saja Melamar Selena Gomez
Potret Ultah Xabiru Anak Rachel Vennya yang Ke-7, Dirayakan Bareng Keluarga Lengkap - Netizen Dukung Balikan
7 Potret Eleanor Anak Bams Ex-Samsons yang Tumbuh Jadi Remaja, Akrab Bareng Sang Nenek 'Mamitoko' Desiree Tarigan
Profil Gus Iqdam, Sosok yang Jadi Sorotan Karena Bela Gus Miftah dan Sebut Netizen Maha Tolol