Mengapa Orang Indonesia Punya Nama Terdiri dari Satu Suku Kata? Intip Penjelasan Menarik ini

Mengapa Orang Indonesia Punya Nama Terdiri dari Satu Suku Kata? Intip Penjelasan Menarik ini
Ilustrasi Kartu Nama (Credit: Van Tay Media/Unsplash)

Kapanlagi.com - Di tengah arus globalisasi yang semakin deras, nama bukan lagi sekadar label, melainkan juga menjadi jembatan menuju sistem administrasi internasional. Di berbagai belahan dunia, termasuk Uni Emirat Arab, muncul tuntutan untuk memiliki struktur nama yang lengkap, yaitu nama depan dan nama belakang. Hal ini menjadi tantangan tersendiri bagi banyak orang Indonesia yang terbiasa dengan nama satu kata.

Di Indonesia, nama satu kata bukanlah hal yang asing. Terutama di kalangan masyarakat Jawa dan suku-suku lainnya yang tidak mengenal sistem marga, nama tunggal ini sudah menjadi bagian dari identitas mereka. Namun, di balik kesederhanaan ini, terdapat sejarah yang kaya, mencakup pengaruh budaya dan tekanan politik yang membentuk cara orang Indonesia menyusun identitas mereka.

Kini, dalam konteks global yang semakin kompleks, warisan nama satu kata tersebut mulai berhadapan dengan kebijakan imigrasi yang ketat di berbagai negara. Sebuah dilema yang menarik untuk ditelusuri, di mana tradisi bertemu dengan tuntutan modernitas.

1. Budaya Indonesia Tidak Mengenal Marga

Pada dasarnya, banyak suku di Indonesia memang tidak memiliki sistem marga seperti yang umum ditemukan di negara-negara Barat atau Asia Timur. Dalam tradisi Jawa, misalnya, seseorang cukup memiliki satu nama saja tanpa perlu ada nama keluarga atau marga. Ini mencerminkan kesederhanaan sekaligus filosofi bahwa nama adalah doa, bukan struktur silsilah.

Tradisi ini bertahan selama berabad-abad, bahkan sampai ke masa modern. Contoh paling terkenal adalah Presiden pertama Indonesia, Soekarno, yang hanya memiliki satu nama. Demikian pula dengan tokoh-tokoh besar lainnya seperti Suharto dan Megawati. Hal ini menjadi cerminan kuat dari identitas budaya yang tidak terikat pada sistem penamaan Barat.

Nama satu kata juga tidak berarti miskin makna. Justru, nama-nama ini sering kali dipilih dengan hati-hati dan menyimpan filosofi mendalam. Namun sayangnya, sistem globalisasi kini menuntut nama yang terstruktur dan lebih birokratis.

(Setelah 8 tahun menikah, Raisa dan Hamish Daud resmi cerai.)

2. Kebijakan Politik Memengaruhi Identitas Nama

Faktor politik juga memainkan peran besar dalam membentuk cara masyarakat Indonesia menyusun nama. Pada masa Orde Baru, misalnya, kebijakan asimilasi yang diberlakukan terhadap keturunan Tionghoa memaksa banyak dari mereka menghapus atau mengganti nama marga asli mereka. Hal ini dilakukan demi menyembunyikan identitas etnis dan menghindari diskriminasi.

Contohnya bisa dilihat pada nama seperti "Nicholas Wong Susanto", di mana “Wong” merujuk pada nama keluarga Tionghoa dan “Susanto” adalah nama yang diindonesiakan. “Nama ‘Wong’ dipertahankan untuk mengisyaratkan asal etnis Nicholas tetapi telah kehilangan fungsi aslinya sebagai nama belakang,” ungkap Rosemary Bai dari Chinese University of Hong Kong, Shenzhen.

Setelah reformasi dan masa pemerintahan Abdurrahman Wahid, pelonggaran terhadap ekspresi budaya Tionghoa memungkinkan beberapa keluarga mengembalikan nama marganya. Namun tetap saja, struktur nama Indonesia secara umum masih belum berubah secara sistemik.

3. Tradisi Global Membentuk Ekspektasi Nama

Di tengah keragaman budaya dunia, Indonesia memiliki keunikan tersendiri dalam sistem penamaan. Sementara banyak negara di Eropa dan Asia Timur mengadopsi struktur nama yang mencerminkan status sosial atau garis keturunan, seperti nama belakang yang menunjukkan asal klan atau pekerjaan, Indonesia justru menawarkan panorama yang beragam.

Nama belakang seperti "Ivanov" atau "Erikson" berasal dari patronimik, yaitu nama berdasarkan ayah. Bahkan, dalam masyarakat Skandinavia atau Rusia, nama keluarga bisa berubah tergantung pada jenis kelamin anak. Tradisi ini berbeda dengan Indonesia yang hanya sedikit suku yang menganut sistem marga, seperti Batak atau Minangkabau.

Uniknya, Minangkabau justru masih mempertahankan sistem matrilineal, di mana marga diwariskan dari pihak ibu. Ini menjadikan Indonesia sebagai salah satu negara dengan keanekaragaman sistem penamaan yang unik, tapi juga membingungkan bagi sistem global yang mengharuskan format nama tertentu.

4. Nama Satu Kata Jadi Penghalang Akses Global

Pada November 2022, Uni Emirat Arab mengeluarkan kebijakan kontroversial yang melarang masuknya individu dengan nama satu kata dalam paspor, khususnya bagi mereka yang menggunakan visa turis, kunjungan, atau jenis visa lainnya. Kebijakan ini tidak berlaku bagi pemegang visa kerja atau izin tinggal, namun menjadi tantangan nyata bagi banyak warga negara Indonesia yang sering memiliki nama satu kata. Dalam era imigrasi modern, penggunaan nama lengkap yang terdiri dari nama depan dan belakang dianggap krusial untuk identifikasi dan keamanan, menciptakan benturan antara budaya lokal dan standar administratif internasional. Akibatnya, banyak WNI terpaksa menambahkan nama baru secara administratif demi memenuhi syarat ini, meski hal tersebut bertentangan dengan tradisi dan keyakinan pribadi mereka.

5. Akankah Sistem Nama di Indonesia Berubah?

Melihat perkembangan global dan tekanan dari sistem internasional, pertanyaan yang muncul adalah: akankah masyarakat Indonesia perlahan-lahan mengadopsi sistem nama yang lebih sesuai dengan standar global? Kemungkinan itu ada, terutama di kalangan urban dan generasi muda yang sering bepergian ke luar negeri atau bekerja di lingkungan multinasional.

Namun, perubahan ini tentu bukan tanpa resistensi. Nama adalah bagian dari identitas dan budaya yang tidak mudah diganti begitu saja. Perlu pendekatan yang bijak dan inklusif agar perubahan tidak menimbulkan alienasi budaya. Selain itu, pemerintah juga bisa mengambil langkah dengan memberikan edukasi dan opsi administratif bagi mereka yang ingin menyesuaikan struktur nama tanpa kehilangan akar budaya.

Meski belum ada kebijakan nasional yang mewajibkan penambahan nama belakang, banyak orang tua kini mulai menamai anaknya dengan dua atau tiga kata agar tidak mengalami kesulitan di masa depan. Mungkin, inilah awal dari transformasi sistem nama di Indonesia.

6. Pertanyaan Seputar Topik

Kenapa orang Indonesia banyak yang hanya punya satu nama?

Karena banyak suku di Indonesia, seperti Jawa, tidak memiliki tradisi marga atau nama keluarga. Mereka menggunakan satu nama yang sudah mencerminkan identitas pribadi.

Apa dampak dari memiliki nama satu kata?

Dalam sistem global, nama satu kata bisa menimbulkan masalah administratif, misalnya dalam pengisian formulir visa atau dokumen resmi yang mengharuskan nama depan dan belakang.

Bagaimana cara mengatasi nama satu kata di paspor?

Sebagian orang menambahkan nama belakang secara administratif, atau mengulangi nama satu kata tersebut sebagai nama depan dan belakang untuk memenuhi persyaratan teknis.

Suku mana saja di Indonesia yang menggunakan marga?

Suku Batak, Minangkabau, dan beberapa suku di Maluku serta Papua dikenal memiliki sistem marga yang diwariskan turun-temurun.

(Di usia pernikahan 29 tahun, Atalia Praratya gugat cerai Ridwan Kamil.)

(kpl/mni)

Rekomendasi
Trending