Menyoroti Gugatan UU Cipta Kerja: Pembentukan UU Tenaga Kerja yang Baru

Penulis: Ricka Milla Suatin

Diterbitkan:

Menyoroti Gugatan UU Cipta Kerja: Pembentukan UU Tenaga Kerja yang Baru
Ilustrasi demo. (Sumber: Pixabay/Hans)

Kapanlagi.com - Mahkamah Konstitusi (MK) baru saja mengambil langkah berani yang akan mengubah peta hukum ketenagakerjaan di Indonesia! Pada Kamis, 31 Oktober 2024, MK mengeluarkan keputusan monumental terkait Undang-Undang (UU) Nomor 6 Tahun 2023 tentang Cipta Kerja.

Dalam putusannya, sebagian permohonan uji materi yang diajukan oleh Partai Buruh dan sejumlah federasi serikat pekerja berhasil dikabulkan, memberikan harapan baru bagi para pekerja di seluruh tanah air.

Keputusan ini tidak muncul begitu saja; ada perjuangan gigih dari kelompok buruh yang mengajukan gugatan sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan yang tertuang dalam norma-norma UU Cipta Kerja.

Beberapa poin krusial dalam putusan MK membawa angin segar dengan memberikan perbaikan pada aturan yang berkaitan dengan perjanjian kerja, sistem outsourcing, serta hak-hak pekerja lainnya.

Dampak dari keputusan ini jauh lebih besar daripada sekadar revisi aturan; MK telah mengubah mekanisme hubungan kerja di Indonesia menjadi lebih adil dan berpihak pada kepentingan pekerja. Nah, penasaran dengan poin-poin penting dari gugatan tersebut? Simak selengkapnya!

1. Pemisahan UU Ketenagakerjaan dari UU Cipta Kerja

Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengeluarkan instruksi penting: Undang-Undang Ketenagakerjaan harus disusun terpisah dari Undang-Undang Cipta Kerja. Langkah ini diambil untuk memastikan bahwa norma-norma ketenagakerjaan lebih jelas dan tidak membingungkan.

Hakim MK, Enny Nurbaningsih, menegaskan, "Dengan mengaturnya dalam undang-undang tersendiri, UU Ketenagakerjaan akan menjadi lebih mudah dipahami." Tak hanya itu, MK juga memberikan tenggat waktu dua tahun bagi DPR dan pemerintah untuk menyelesaikan rancangan UU Ketenagakerjaan yang baru, dengan penekanan pada pentingnya partisipasi aktif serikat pekerja agar hak-hak buruh dapat terakomodasi dengan baik dalam substansi undang-undang tersebut.

(Ayo ikuti saluran WhatsApp KapanLagi.com biar enggak ketinggalan update dan berita terbaru seputar dunia hiburan tanah air dan juga luar negeri. Klik di sini ya, Klovers!)

2. Aturan Durasi Kontrak Kerja Maksimal Lima Tahun

Mahkamah Konstitusi (MK) telah mengambil langkah berani dengan mengabulkan norma batas waktu untuk Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT), menetapkan bahwa kontrak kerja tidak boleh melebihi lima tahun, termasuk perpanjangan.

Langkah ini diambil untuk melindungi pekerja dari ketidakadilan yang sering terjadi akibat posisi tawar yang lemah. Ketua MK, Suhartoyo, menekankan bahwa regulasi ini bertujuan memberikan kejelasan dalam hubungan kerja, sehingga hak-hak pekerja dapat terlindungi dengan lebih baik.

3. Batasan untuk Pekerjaan Outsourcing

Mahkamah Konstitusi (MK) telah menegaskan batasan penggunaan tenaga alih daya atau outsourcing, menetapkan bahwa pekerjaan yang dapat dialihdayakan hanya mencakup sektor non-inti seperti layanan kebersihan dan keamanan.

Langkah ini diambil untuk melindungi hak-hak buruh dari praktik outsourcing yang merugikan dan ambigu. Dengan keputusan ini, regulasi bagi pekerja outsourcing semakin diperkuat, memberikan aturan yang lebih transparan dan mengurangi potensi sengketa hukum, sehingga menciptakan lingkungan kerja yang lebih adil dan aman bagi semua.

4. Perubahan pada Pengaturan Upah

Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menghidupkan peran dewan pengupahan yang sempat dihapus dalam UU Cipta Kerja, memberikan nafas baru bagi kebijakan upah di tingkat daerah.

Dengan melibatkan unsur serikat pekerja dalam pengambilan keputusan, dewan ini diharapkan mampu menciptakan keadilan dan kesejahteraan bagi para pekerja. Tak hanya itu, upah minimum sektoral (UMS) yang sebelumnya dihapus kini dipulihkan, memastikan bahwa pekerja di sektor-sektor khusus tetap mendapatkan perlindungan yang layak dan memadai.

5. Proses PHK Harus Melalui Putusan Final

Mahkamah Konstitusi (MK) telah menegaskan bahwa pemutusan hubungan kerja (PHK) tidak bisa dilakukan sembarangan, melainkan harus melalui proses perundingan bipartit dan menunggu keputusan final dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.

Langkah ini diambil untuk melindungi hak-hak pekerja dari PHK sepihak yang sering kali merugikan. "Dengan pengaturan ini, kami berharap keadilan yang lebih besar dapat terwujud bagi pekerja saat menghadapi masalah PHK," ungkap Enny Nurbaningsih dalam pertimbangan hukumnya.

(Ayo ikuti saluran WhatsApp KapanLagi.com biar enggak ketinggalan update dan berita terbaru seputar dunia hiburan tanah air dan juga luar negeri. Klik di sini ya, Klovers!)

(kpl/rmt)

Rekomendasi
Trending