Meugang: Tradisi Khas Aceh Menyambut Hari Raya Lebaran

Penulis: Fardi Rizal

Diterbitkan:

Meugang: Tradisi Khas Aceh Menyambut Hari Raya Lebaran
Meugang: Tradisi Khas Aceh Menyambut Hari Raya Lebaran

Kapanlagi.com - Hari Raya Idulfitri menjadi momen istimewa bagi umat Islam di seluruh dunia, termasuk di Aceh. Di provinsi yang dikenal dengan julukan Serambi Mekkah ini, terdapat tradisi unik yang masih lestari hingga kini, yaitu Meugang. Bukan sekadar perayaan biasa, Meugang memiliki makna mendalam bagi masyarakat Aceh.

Tradisi ini dilakukan dengan menyembelih hewan dan memasak daging untuk disantap bersama keluarga, kerabat, dan bahkan dibagikan kepada masyarakat yang kurang mampu. Meugang bukan hanya dirayakan saat Idulfitri, tetapi juga menjelang Ramadan dan Iduladha. Kehadirannya seolah menjadi simbol kebersamaan dan rasa syukur bagi masyarakat Aceh.

Meugang merupakan bagian dari budaya Aceh yang sudah diwariskan turun-temurun. Tradisi ini memiliki makna sosial yang kuat karena mengajarkan kita untuk berbagi.

1. Sejarah Meugang: Dari Kerajaan Aceh hingga Kini

Meugang bukanlah tradisi baru. Jejak sejarahnya bisa ditelusuri hingga masa Kerajaan Aceh Darussalam pada abad ke-14 Masehi. Kala itu, Sultan Iskandar Muda menginisiasi tradisi ini sebagai bentuk rasa syukur dengan membagikan daging kepada rakyatnya.

Disebutkan dalam buku Kerajaan Aceh Zaman Sultan Iskandar Muda, pada zaman kerajaan, Sultan Iskandar Muda memotong sapi dan kerbau dalam jumlah besar, kemudian membagikannya secara gratis kepada rakyat sebagai bentuk kepedulian terhadap masyarakat.

Namun, setelah Belanda menaklukkan Aceh pada 1873, peran kerajaan dalam mengadakan Meugang terhenti. Meskipun demikian, masyarakat tetap mempertahankan tradisi ini secara mandiri hingga sekarang, menjadikannya bagian tak terpisahkan dari budaya Aceh.

(Ayo ikuti saluran WhatsApp KapanLagi.com biar enggak ketinggalan update dan berita terbaru seputar dunia hiburan tanah air dan juga luar negeri. Klik di sini ya, Klovers!)

2. Proses Pelaksanaan Meugang: Dari Pasar Hingga Meja Makan

Tradisi Meugang dimulai beberapa hari sebelum Lebaran atau hari besar Islam lainnya. Pada saat itu, pasar-pasar di Aceh akan dipadati warga yang berburu daging sapi, kambing, ayam, atau bebek. Harga daging pun melonjak hingga dua kali lipat dari harga biasanya akibat permintaan yang tinggi.

Setelah mendapatkan daging, masyarakat Aceh akan mengolahnya menjadi berbagai masakan khas. Setiap daerah di Aceh memiliki menu khas Meugang yang berbeda-beda. Misalnya, di Aceh Utara daging biasanya dimasak menjadi kari dan sop, sementara di Aceh Besar dikenal dengan sie reuboh, rendang, dan daging asam keueung.

Setelah masakan siap, keluarga besar akan berkumpul untuk menikmati hidangan bersama. Tidak hanya itu, daging juga sering kali dibagikan kepada tetangga, fakir miskin, dan anak yatim sebagai wujud kepedulian sosial.

3. Makna dan Filosofi di Balik Tradisi Meugang

Lebih dari sekadar makan daging, Meugang memiliki makna yang lebih dalam bagi masyarakat Aceh. Tradisi ini menanamkan nilai-nilai kebersamaan, kepedulian sosial, dan penghormatan terhadap hari-hari suci Islam.

Dalam budaya Aceh, seorang menantu laki-laki yang masih tinggal di rumah mertuanya diwajibkan membawa daging pada hari Meugang. Semakin banyak daging yang dibawa, semakin baik martabatnya di mata keluarga mertua. Hal ini menunjukkan bahwa Meugang juga berkaitan dengan harga diri dan status sosial dalam masyarakat Aceh.

Di sisi lain, Meugang juga memiliki nilai religius. Membantu sesama dengan berbagi makanan saat Meugang dianggap sebagai bentuk sedekah dan wujud syukur atas rezeki yang diberikan oleh Allah.

4. Dampak Ekonomi: Kenaikan Harga Daging dan Perputaran Uang

Setiap menjelang Meugang, pasar-pasar di Aceh mengalami lonjakan harga daging. Jika pada hari biasa harga daging sapi berkisar Rp130 ribu per kilogram, saat Meugang bisa mencapai Rp250 per kilogram atau lebih.

Fenomena ini mendorong perputaran ekonomi yang besar dalam waktu singkat. Para pedagang daging meraup keuntungan signifikan, sementara peternak juga mendapatkan peluang lebih besar untuk menjual hewan ternaknya dengan harga yang lebih tinggi.

Namun, di sisi lain, kenaikan harga ini juga menjadi tantangan bagi masyarakat kelas menengah ke bawah. Banyak keluarga yang harus menyisihkan uang sejak jauh-jauh hari agar tetap bisa membeli daging untuk merayakan Meugang dengan layak.

5. Meugang dalam Perspektif Masyarakat Modern

Meski telah berlangsung selama ratusan tahun, tradisi Meugang masih relevan hingga saat ini. Namun, dalam praktiknya, beberapa aspek mengalami perubahan. Dahulu, Meugang identik dengan pembagian daging gratis oleh kerajaan, sementara kini masyarakat harus membeli sendiri daging untuk merayakannya.

Selain itu, gaya hidup modern juga mempengaruhi cara masyarakat Aceh merayakan Meugang. Sebagian keluarga memilih untuk memasak di rumah, sementara lainnya lebih memilih makan bersama di restoran atau rumah makan yang menyediakan menu khas Meugang.

Terlepas dari perubahan yang terjadi, esensi Meugang tetap sama: menyambut hari suci dengan penuh rasa syukur dan kebersamaan.

(Ayo ikuti saluran WhatsApp KapanLagi.com biar enggak ketinggalan update dan berita terbaru seputar dunia hiburan tanah air dan juga luar negeri. Klik di sini ya, Klovers!)

(kpl/frr)

Editor:

Fardi Rizal