Diperbarui: Diterbitkan:
Kapanlagi.com - Pagar laut yang menjulang sepanjang 30,16 kilometer di perairan Tangerang, Banten, kini menjadi sorotan utama di seluruh Indonesia setelah disegel oleh Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP). Pagar yang terbuat dari bambu ini diduga dibangun tanpa izin, dan dampaknya sangat terasa bagi ekosistem serta kehidupan para nelayan setempat.
Awalnya, keberadaan pagar ini terdeteksi pada Agustus 2024 dengan panjang hanya 7 kilometer. Namun, meski telah mendapat peringatan dari KKP, oknum pemasang pagar ini mengabaikannya, sehingga dalam waktu lima bulan, panjangnya melambung hingga lebih dari 30 kilometer.
Pung Nugroho Saksono, Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan, menegaskan bahwa pemerintah akan mengambil langkah tegas demi keadilan bagi masyarakat pesisir. Pagar laut ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga mengancam keberlangsungan hidup ribuan nelayan tradisional yang menggantungkan hidup di kawasan tersebut.
Advertisement
Berita ini dirangkum oleh Kapanlagi.com dari berbagai sumber pada Jumat (10/1).
Pada Agustus 2024, sebuah pagar laut misterius pertama kali terungkap di pesisir Pantura, Kabupaten Tangerang, dengan panjang awal hanya 7 kilometer. Meski Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) telah mengeluarkan peringatan untuk menghentikan aktivitas tersebut, peringatan itu diabaikan, dan pagar itu terus meluas hingga mencapai 30,16 kilometer pada Januari 2025, mengancam sumber kehidupan ribuan nelayan.
Terbuat dari bambu, paranet, dan pemberat pasir yang kuat tertancap di dasar laut, pemagaran ini diduga dilakukan saat pengawasan lengah, sehingga sulit terdeteksi. Melihat situasi yang semakin mengkhawatirkan, KKP akhirnya mengambil tindakan tegas dengan menyegel pagar tersebut dan memberi tenggat waktu bagi pelaku untuk membongkar struktur ilegal ini, atau menghadapi pembongkaran paksa dari pemerintah.
"Temuan sudah sejak Agustus, saat itu panjangnya baru 7 Kilometer. Sudah diberi peringatan untuk menghentikan kegiatan," ungkap Direktur Jenderal Pengawasan Sumber Daya Kelautan dan Perikanan (PSDKP), Pung Nugroho Saksono, seperti dilansir dari Liputan6 News.
(Ayo ikuti saluran WhatsApp KapanLagi.com biar enggak ketinggalan update dan berita terbaru seputar dunia hiburan tanah air dan juga luar negeri. Klik di sini ya, Klovers!)
Pagar laut yang dibangun di wilayah tersebut telah menciptakan tantangan besar bagi sekitar 3.888 nelayan dan 502 pembudidaya ikan, yang kini terpaksa melaut lebih jauh demi mencari ikan, sehingga meningkatkan biaya operasional dan waktu kerja mereka.
Hasil tangkapan yang menurun drastis menjadi masalah utama, karena akses ke perairan yang kaya sumber daya laut kini terhambat.
Banyak nelayan mengeluhkan kesulitan memenuhi kebutuhan keluarga akibat dampak pemagaran ini, sementara pembudidaya ikan juga merasakan kerugian ekonomi karena terganggunya aliran air laut yang vital untuk ekosistem tambak mereka.
"Lakukan penyegelan, hadir KKP di situ, jadi tindakan tegas dan terukur harus dilaksanakan," tegas Pung, seperti dilansir dari ANTARA.
Advertisement
Pemagaran laut sepanjang 30 kilometer yang baru-baru ini terjadi menuai kritik tajam karena dinilai melanggar sejumlah regulasi penting, termasuk Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2007 dan Peraturan Menteri Kelautan dan Perikanan Nomor 31 Tahun 2021. Laut seharusnya menjadi milik publik yang dikelola demi kesejahteraan masyarakat, bukan sekadar kepentingan segelintir orang.
Dr. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, seorang pengamat maritim, menyoroti lemahnya pengawasan dan penegakan hukum di wilayah pesisir, menegaskan bahwa akses terhadap laut harus terbuka bagi semua, terutama bagi nelayan tradisional yang sangat bergantung pada sumber daya alam tersebut.
Tindakan pemagaran ini tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga menciptakan ketegangan antara kepentingan publik dan privat, berpotensi menambah ketimpangan sosial di kalangan masyarakat pesisir. "Laut adalah sumber daya publik yang harus dikelola untuk kesejahteraan masyarakat. Pemagaran ini menunjukkan kurangnya pemahaman terhadap prinsip tersebut," tegas Marcellus Hakeng, seperti yang dilaporkan oleh Liputan6 Bisnis.
Pemagaran laut dengan bambu dan paranet ternyata menyimpan dampak serius bagi lingkungan kita. Struktur-struktur ini menghalangi aliran air laut yang sangat vital untuk menjaga keseimbangan ekosistem pesisir, termasuk terumbu karang dan mangrove yang menjadi rumah bagi berbagai spesies.
Akibatnya, habitat laut pun mengalami kerusakan, yang berujung pada penurunan keanekaragaman hayati di wilayah tersebut. Lebih jauh lagi, gangguan ini mengancam populasi ikan yang merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat pesisir, sekaligus merusak keberlanjutan ekosistem laut yang berperan sebagai penyangga alami dari abrasi dan bencana alam.
Keberadaan pemagaran ini bukan hanya merusak lingkungan, tetapi juga mengancam masa depan yang berkelanjutan bagi komunitas pesisir kita.
Dalam upaya mengatasi masalah pemagaran yang merugikan akses publik ke laut, pemerintah melalui KKP telah mengambil langkah tegas dengan menyegel lokasi yang melanggar dan memberikan peringatan keras kepada para pelakunya.
Namun, tindakan ini perlu didukung dengan penegakan hukum yang konsisten agar kejadian serupa tidak terulang di masa depan. Pengawasan di kawasan pesisir harus ditingkatkan, dengan melibatkan masyarakat lokal sebagai garda terdepan dalam pengelolaan sumber daya laut. Selain itu, pentingnya edukasi mengenai akses publik ke laut harus digalakkan untuk mencegah terjadinya konflik kepentingan.
Rehabilitasi lingkungan juga menjadi prioritas utama demi memulihkan ekosistem yang telah rusak akibat praktik pemagaran, dengan pendekatan berkelanjutan yang memastikan sumber daya laut tetap terjaga untuk generasi mendatang.
Pagar laut kini menjadi penghalang bagi para nelayan, membatasi akses mereka ke wilayah perairan yang kaya akan ikan. Akibatnya, biaya operasional melonjak, sementara hasil tangkapan semakin menurun, membuat perjuangan mereka di tengah gelombang kehidupan semakin berat.
Pagar laut yang dibangun ternyata melanggar ketentuan Undang-Undang Pengelolaan Wilayah Pesisir serta Peraturan Menteri Kelautan yang mengatur tata ruang laut, menimbulkan pertanyaan besar tentang kepatuhan terhadap regulasi yang ada dan dampaknya terhadap ekosistem pesisir kita.
Solusi yang ditawarkan mencakup penegakan hukum yang tegas, upaya rehabilitasi ekosistem yang berkelanjutan, serta penguatan pengawasan dan edukasi masyarakat untuk menciptakan kesadaran yang lebih tinggi.
(Ayo ikuti saluran WhatsApp KapanLagi.com biar enggak ketinggalan update dan berita terbaru seputar dunia hiburan tanah air dan juga luar negeri. Klik di sini ya, Klovers!)
(kpl/srr)
Advertisement