Diterbitkan:
Kapanlagi.com - Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia semakin menambah kecemasan di berbagai sektor industri. Hingga 28 Oktober 2024, data dari Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) menunjukkan bahwa sebanyak 59.796 pekerja telah kehilangan pekerjaan mereka. Tren ini mencerminkan lonjakan yang signifikan, terutama dalam tiga bulan terakhir, dengan tambahan 25 ribu orang yang terpaksa meninggalkan tempat kerja.
Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, mengonfirmasi situasi yang memprihatinkan ini dan mengumumkan rencananya untuk menggelar pertemuan dengan para gubernur guna membahas langkah-langkah mitigasi yang perlu diambil. "Besok kami akan bertemu secara daring dengan para gubernur. Kami akan menyampaikan pesan penting bahwa PHK ini perlu menjadi perhatian serius bagi mereka," ungkapnya dalam Rapat Kerja bersama Komisi IX DPR pada Rabu (30/10).
Menaker juga menekankan betapa krusialnya penerapan sistem peringatan dini dan manajemen risiko di perusahaan-perusahaan untuk mencegah situasi kritis yang bisa berujung pada PHK massal. Dengan langkah-langkah ini, diharapkan dapat mengurangi dampak negatif yang dirasakan oleh para pekerja dan industri secara keseluruhan.
Advertisement
Pada Rabu (30/10), Menteri Ketenagakerjaan Yassierli mengungkapkan sebuah kabar mengejutkan bahwa hingga akhir Oktober 2024, hampir 60 ribu pekerja diperkirakan akan terkena pemutusan hubungan kerja (PHK). Dalam rapat kerja dengan Komisi IX DPR, ia memperingatkan bahwa lonjakan PHK ini bukan hanya mengancam stabilitas ekonomi, tetapi juga kesejahteraan sosial masyarakat.
Dengan tegas, Yassierli mengumumkan bahwa akan ada rapat koordinasi dengan seluruh gubernur untuk menyusun langkah strategis menghadapi krisis ini. "Kami berharap terjalin sinergi yang kuat antara pemerintah pusat dan daerah untuk menanggulangi lonjakan PHK ini," tuturnya, menekankan pentingnya kerjasama dalam situasi yang krusial ini.
(Ayo ikuti saluran WhatsApp KapanLagi.com biar enggak ketinggalan update dan berita terbaru seputar dunia hiburan tanah air dan juga luar negeri. Klik di sini ya, Klovers!)
Dalam pertemuan tersebut, perhatian utama tertuju pada pengembangan sistem peringatan dini di setiap perusahaan, sebuah inovasi yang diharapkan mampu mendeteksi potensi ancaman pemutusan hubungan kerja (PHK) lebih awal.
Dengan adanya sistem ini, perusahaan dapat segera mengambil langkah-langkah mitigasi yang diperlukan, sehingga dampak sosial dan ekonomi dari tingginya angka PHK dapat diminimalisir. "Sistem peringatan dini ini diharapkan menjadi solusi efektif untuk mengatasi tantangan yang ada," ungkap Yassierli.
Advertisement
Direktur Jenderal Pembinaan Hubungan Industrial dan Jaminan Sosial Tenaga Kerja (PHI Jamsos) Kemenaker, Indah Anggoro Putri, baru-baru ini mengungkapkan fakta mengejutkan bahwa DKI Jakarta kini menduduki puncak daftar angka pemutusan hubungan kerja (PHK) di Indonesia.
Hingga 28 Oktober, sebanyak 14.501 pekerja di ibu kota telah mengalami PHK sejak awal tahun, menggeser posisi Jawa Tengah yang sebelumnya berada di urutan teratas. "Kami masih menyelidiki penyebab pasti dari perubahan ini, namun kami terus menjalin komunikasi dengan Pemerintah Daerah DKI Jakarta," ungkap Putri, menandakan perhatian serius pemerintah terhadap situasi ini.
Di tengah krisis pemutusan hubungan kerja (PHK) yang melanda, perhatian kini tertuju pada penetapan upah minimum provinsi (UMP) 2025. Usulan serikat pekerja untuk kenaikan 8-10 persen masih menemui penolakan dari kalangan pengusaha.
Menteri Ketenagakerjaan, Yassierli, mengungkapkan bahwa pihaknya masih dalam proses menghitung besaran UMP dengan mengandalkan data dari BPS yang baru akan dirilis pada 6 November 2024. "Kami masih memiliki waktu hingga 21 November untuk menetapkan UMP. Hasil perhitungan ini akan kami laporkan kepada Presiden," tambahnya, memberikan harapan di tengah ketidakpastian.
Dalam sebuah pernyataan tegas, Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), Shinta W. Kamdani, menggarisbawahi pentingnya kenaikan Upah Minimum Provinsi (UMP) yang sesuai dengan formula yang tertuang dalam PP Nomor 51 Tahun 2023.
Ia menekankan bahwa pengusaha tidak dapat menerima kenaikan yang seragam di seluruh daerah, mengingat kondisi perekonomian yang beragam. "Kami berpegang pada PP 51. Formula yang ada sudah mempertimbangkan inflasi dan pertumbuhan ekonomi di masing-masing wilayah," ungkap Shinta dengan penuh keyakinan.
(Ayo ikuti saluran WhatsApp KapanLagi.com biar enggak ketinggalan update dan berita terbaru seputar dunia hiburan tanah air dan juga luar negeri. Klik di sini ya, Klovers!)
(kpl/rmt)
Advertisement