Kapanlagi.com - Puasa Ramadan merupakan kewajiban suci bagi setiap Muslim yang memenuhi syarat. Namun, ada kalanya seseorang diizinkan untuk tidak berpuasa, seperti saat sakit, melakukan perjalanan jauh, atau bagi ibu hamil dan menyusui. Meskipun demikian, mereka yang melewatkan puasa tetap memiliki tanggung jawab untuk menggantinya setelah bulan suci ini berakhir.
Lalu, bagaimana jika seseorang menunda penggantian puasanya hingga Ramadan berikutnya? Apakah ada konsekuensi yang harus dihadapi? Dalam hukum Islam, terdapat perbedaan antara mereka yang tidak memiliki kesempatan untuk mengqadha dan mereka yang menunda karena kelalaian.
Para ulama memberikan panduan terkait hal ini. Mereka yang lalai dalam mengganti puasa diwajibkan membayar fidyah selain mengqadha puasanya, sementara yang benar-benar tidak memiliki kesempatan diberikan kelonggaran tertentu. Simak ulasan berikut ini, dirangkum Kapanlagi.com, Selasa (11/2).
Dalam ajaran Islam, waktu untuk mengqadha puasa Ramadan dimulai sejak tanggal 2 Syawal hingga menjelang Ramadan selanjutnya. Bagi setiap Muslim yang memiliki utang puasa, momen ini adalah kesempatan emas untuk menggantinya.
Namun, bagi mereka yang menunda-nunda tanpa alasan yang sah, ada konsekuensi yang harus ditanggung, yaitu membayar fidyah. Sementara itu, bagi yang tidak mampu mengqadha karena alasan seperti sakit berkepanjangan, tidak perlu khawatir, karena mereka cukup membayar fidyah sebagai pengganti.
Menurut pendapat ulama dan hadits, jika seseorang sengaja menunda qadha hingga Ramadan berikutnya, ia wajib mengqadha dan membayar fidyah satu mud (sekitar 543-815 gram bahan pokok) untuk setiap hari yang terlewat.
Menurut pejelasan Syekh Nawawi Banten, yang membatalkan puasa biasanya adalah kalangan ibu menyusui, perempuan hamil termasuk orang dalam kondisi penyakit tertentu yang akan sembuh. Dalam kondisi tersebut mereka harus menggantinya (qadha) setelah selesai bulan ramadan dan sebelum masuk bulan puasa berikutnya.
Namun, jika mereka yang dalam kondisi lalaian hingga tidak mengganti puasa sampai Ramadan tahun berikutnya tiba, mendapat beban tambahan. Mereka wajib membayar fidyah di samping mengqadha puasa yang pernah ditinggalkannya. Berikut penjelasan Syekh Nawawi Banten:
) ( ) . . .
"Kedua (yang wajib qadha dan fidyah) adalah ketiadaan puasa dengan menunda qadha puasa Ramadhan (padahal memiliki kesempatan hingga Ramadhan berikutnya tiba. Hal itu berdasarkan hadits: Siapa saja mengalami Ramadhan, lalu tidak berpuasa karena sakit, kemudian sehat kembali dan belum mengqadhanya hingga Ramadhan selanjutnya tiba, maka ia harus menunaikan puasa Ramadhan yang sedang dijalaninya, setelah itu mengqadha utang puasanya dan memberikan makan kepada seorang miskin satu hari yang ditinggalkan sebagai kaffarah (HR Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi), mengutip NU Online.
Tidak semua orang yang meninggalkan puasa wajib membayar fidyah. Berikut adalah beberapa kategori orang yang diwajibkan membayar fidyah menurut ulama:
Menurut mazhab Hanafi, fidyah boleh dibayarkan dalam bentuk uang senilai harga makanan pokok, tetapi mayoritas ulama menganjurkan dalam bentuk makanan.
Dalam hal ini, ahli waris dapat membayarkan fidyah bagi almarhum sesuai jumlah hari puasa yang terlewat.
Ia tetap memiliki tanggungan utang puasa dan wajib membayar fidyah yang terus bertambah seiring berjalannya waktu.
Besaran fidyah tergantung harga makanan pokok di daerah masing-masing. Misalnya, jika harga satu porsi makanan Rp20.000, maka fidyah per hari sekitar Rp20.000.