Mengenal Primbon Bugis Atau Lontara: Sistem Penanggalan dan Penentuan Hari Baik Buruknya

Mengenal Primbon Bugis Atau Lontara: Sistem Penanggalan dan Penentuan Hari Baik Buruknya
Ilustrasi Mengenal Primbon Bugis (credit: unsplash)

Kapanlagi.com - Oleh masyarakat luas di Indonesia, Primbon dikenal sebagai sebuah ramalan. Secara umum, ramalan Primbon mungkin sudah sangat identik dengan tradisi masyarakat Jawa tradisional. Meski begitu, nyatanya tak hanya suku Jawa saja yang punya ramalan sejenis Primbon. Ada banyak suku di Tanah Air yang punya tradisi serupa. Primbon Bugis sebagai salah satu contohnya.

Sesuai dengan namanya, Primbon Bugis merupakan bagian dari adat, budaya, dan kepercayaan masyarakat suku Bugis. Lebih spesifik, masyarakat Bugis menyebut Primbon mereka dengan istilah Lontara karena umumnya tertulis di atas daun lontar. Meski belum sepopuler Primbon Jawa, Primbon Bugis atau Lontara jadi satu tradisi yang tak kalah menarik untuk dipelajari.

Penasaran seperti apa isi Primbon Bugis atau Lontara? Untuk mengenal lebih jauh Primbon Bugis, langsung saja simak ulasannya berikut ini.

1. Mengenal Primbon Bugis atau Lontara

Ilustrasi Primbon Bugis atau Lontara (credit: unsplash)

Sama seperti Primbon Jawa, Primbon Bugis atau Lontar ternyata juga mempunyai sistem kalender atau penanggalannya sendiri. Sangat berbeda dengan penanggalan masehi, sistem kalender Primbon Bugis memakai sistem hitungan tahun di mana dalam satu tahun yang terdiri atas 12 bulan dihitung menurut waktu panen. Atau dengan kata lain dihitung setiap enam bulan sekali.

Selain itu, jika dalam satu bulan masehi terdiri atas 27 hingga 31 hari, pada penanggalan Pimbon Bugis satu bulan bisa terdiri atas 30 sampai 32 hari. Untuk lebih jelasnya, berikut sekilas tentang bulan-bulan dalam sistem penanggalan menurut Primbon Bugis:

1. Bulan Sorowan terdiri atas 30 hari

2. Bulan Padrowae terdiri atas 30 hari

3. Bulan Sajewi terdiri atas 30 hari

4. Bulan Pachekae terdiri atas 31 hari

5. Bulan Posae terdiri atas 31 hari

6. Bulan Mangseran terdiri atas 32 hari

7. Bulan Mangasutewe terdiri atas 30 hari

8. Bulan Mangalompae terdiri atas 31 hari

9. Bulan Nayae terdiri atas 30/31 hari

10. Bulan Palagunae terdiri atas 30 hari

11. Bulan Besakai terdiri atas 30 hari

12. Bulan Jetai terdiri atas 30 hari

Dari daftar tersebut jika semua ditotal, maka akan ada 365/366 hari dalam satu tahun. Selain itu, sebagai informasi tambahan, beberapa nama bulan di atas merupakan hasil serapan atau adaptasi nama bulan dalam budaya agama Hindu. Nama bulan-bulan yang termasuk adaptasi tersebut di antaranya: Sarowan (Srawana), Padrowanae (Bhadrawada), Sajewi (Asuji), Posae (Pausa), Mangaseran (Margasira), Palagunae (Phalguna), Besakai (Waisakha), dan Jetai (Jyaistha).

Keunik lainnya dari sistem penanggalan Primbon Bugis terletak pada penggunaan sistem hari dalam satu pekan. Suku Bugis dan Suku Makassar yang benar-benar tradisional mengenal adanya sistem hitungan 20 hari dalam satu pekan. Sistem ini akan berulang sesuai sirklusnya, mirip dengan sistem pasaran dalam budaya penanggalan Jawa.

Adapun nama-nama hari dalam satu pekan tersebut antara lain: Pong, Pang, Lumawa, Wajing, Wunga Wunga, Telettuq, Anga, Webbo, Wage, Ceppa, Tule, Aieng, Beruku, Panirong, Maua, Dettia, Soma, Lakkaraq, Jepati, dan Tumpakale. Yang membuat sistem penamaan itu kian menarik, adalah sebagian dari nama-nama hari tersebut merupakan adopsi dari pasaran Jawa: Pong (Pon), Pang (Pahing), dan Wage (Wage).

(Update terbaru Ammar Zoni, bakal dipindah dari Nusakambangan ke Jakarta.)

2. Hari Baik Menurut Primbon Bugis

Ilustrasi Hari Baik Menurut Primbon Bugis (credit: unplash)

Tak jauh beda dengan Primbon Jawa, Primbon Bugis atau Lontara juga digunakan untuk menentukan hari baik dan hari buruk. Dalam pandangan masyarakat Bugis tradisional, setiap hari atau bahkan satu waktu khusus dalam satu hari mempunyai bisa dikategorikan sebagai waktu yang baik.
Biasanya, waktu atau hari baik tersebut cocok untuk menyelenggarakan kegiatan adat. Meski tak jarang juga seseoranng melihat waktu terbaik untuk melakukan kegiatan yang lebih bersifat biasa dan umum dilakukan sehari-hari.

Untuk melihat suatu hari atau satu waktu baik atau buruk menurut Primbon Bugis bisa dilihat dalam sebuah media bernama "Mattanra Wettu" atau "Mattenere Wettu". Secara harfiah mattanra wettu atau mattenere wettu bisa diartikan sebagai tanda waktu.

Mattanra Wettu ini berisi baris-baris dan kolom-kolom yang memuat waktu dalam satu pekan. Baris pertama diri hari-hari mulai dari Jumat (juma), Sabtu (sattu), Ahad (aha), Senin (asseneng), Selasa (salasa), Rabu (araba), dan Kamis (kammisi).

Lalu, di bagian kolom terisi golongan pembagian waktu dalam satu hari menurut Primbon Bugis. Pembagian waktu tersebut antara lain: Ele (pukul 06.00-09.00), Abueng (pukul 09.00-11.00), Tengngaesso (pukul 11.00-12.00), Loro dimulai pukul (12.00-15.00), dan Assara (pukul 15.00-18.00).

Di setiap titik pertemuan baris hari dan kolom pembagian waktu, nantinya akan ada sebuah simbol yang berulang berdasarkan pola tertentu/ Dari pola-pola simbol itulah nantinya bisa dilihat waktu terbaik dalam satu hari.

Lewat metode dengan Mattenere Wettu di atas, sebagian masyarakat Bugis mempercayai bahwa esso Senneng (Senin), Aha (Minggu), Araba (Rabu), dan Juma (Jumat) sebagai waktu atau hari terbaik. Sementara, hari buruk adalah Salasa (Selasa). Selasa dikatakan sebagai hari buruk karena kata Salasa memiliki kemiripan huruf dengan kata sala-sala, sisala, atau lari sala yang dalam bahasa Bugis diartikan sebagai keburukan.

3. Pembagian Jenis Waktu Primbon Bugis

Ilustrasi Pembagian Jenis Waktu Primbon Bugis (credit: unsplash)

Seperti yang telah disebutkan di atas, bahwa menurut Mattenere Wettu, terdapat pembagian waktu dalam satu hari. Dalam pembagian waktu tersebut, terdapat pola yang menjadi tanda apakah waktu tersebut jadi yang terbaik atau malah sebaliknya. Maka dari itu, tak akan lengkap jika tak mengenali pola-pola pembagian waktu dalam Matternere Wettu. Berikut beberapa pembagian waktu dalam Matternere Wettu..

1. Pola "Lobbang" bisa diartikan secara harfiah. Pola ini menandakan bahwa aktivitas yang dilakukan tidak memberikan hasil yang baik atau kosong.

2. Pola "Uju" secara harfiah artinya mati. Sehingga Uju diartikan sebagai kesialan sehingga lebih baik dihindari untuk melakukan sesuatu di waktu-waktu tersebut.

3. Pola "Mallise" secara harfiah berarti berisi. Mallise menjadi tanda dari keberuntungan. Khususnya bagi petani, Mallise dipercaya sebagai pertanda bahwa akan mendapatkan hasil panen yang melimpah ruah

4. Pola "Tuo" secara harfiah berarti hidup. Diartikan sebagai waktu yang bakal memberikan kesejahteraan, keselamatan, dan keberkahan.

5. Pola "Pole Bola" menandakan waktu yang impas. Artinya, waktu tersebut bisa jadi baik atau buruk atau bahkan tidak kedua-duanya. Jadi bisa dibilang tidak terprediksi.

Itulah di antaranya sekilas ulasan tentang Primbon Bugis, semoga bermanfaat dan bisa menjawab rasa penasaran kalian selama ini.

(Hari patah hati se-Indonesia, Amanda Zahra resmi menikah lagi.)

Rekomendasi
Trending