Sholat Kafarat, Penjelasan Hukum dan Hubungannya dengan Sholat Qadla

Sholat Kafarat, Penjelasan Hukum dan Hubungannya dengan Sholat Qadla
Ilustrasi (Credit: Freepik)

Kapanlagi.com - Sholat kafarat merupakan sholat yang konon diperintahkan untuk dilakukan pada Jumat terakhir Ramadan. Namun, masih banyak perdebatan mengenai hukum sholat kafarat ini.

Menurut Ustadz Yusuf Suharto yang dilansir dari tebuireng.online, membicarakan sholat kafarat pastinya tak lepas dari sabda Nabi Muhammad yang berbunyi sebagai berikut:

"Barang siapa yang selama hidupnya pernah meninggalkan sholat tetapi tak dapat menghitung jumlahnya, maka sholatlah di hari Jumat terakhir bulan Ramadan sebanyak 4 rakaat dengan 1 kali tasyahud, dan setiap rakaat membaca 1 kali surat Al-Fatihah kemudian surat Al-Qadar 15 kali dan surat Al-Kautsar 15 kali."

Selain itu terdapat redaksi lain dari perkataan Khalifah Abu Bakar as Sidiq yang berbunyi sebagai berikut:

"Saya telah mendengar Rasulullah SAW, beliau bersabda sholat tersebut sebagai kafarat (pengganti) sholat 400 tahun. Dan menurut Sayidina Ali ibn Abi Thalib sholat tersebut sebagai kafarat 1000 tahun. Maka bertanyalah para sahabat: "Umur manusia itu hanya 60 tahun atau 100 tahun, lalu untuk siapa kelebihannya?".

Rasulullah SAW menjawab, "Untuk kedua orangtuanya, untuk istrinya, untuk anaknya dan untuk sanak familinya serta orang-orang dilingkungannya."

Hadis di atas ternyata adalah hadis maudhu', yakni sebuah hadis yang disandarkan pada Nabi dengan kebohongan dan sebenarnya tidak ada keterkaitan sanad dengan Nabi. Selain itu pada hakikatnya itu bukanlah hadis. Hanya saja penyebutannya sebagai hadis memandang anggapan dari perawinya.

Ketika amalan ibadah bersumber dari hadis maudhu', maka menurut para ulama hukumnya tidak boleh mengerjakan amalan tersebut. Berbeda ketika amalan yang bersumber dari hadis dha'if (lemah) maka masih diperbolehkan mengamalkan hanya sebatas fadhailul amal (keutamaan-keutamaan amal).

Simak pembahasan mengenai hukum sholat kafarat (pengganti) yang terlihat rancu dengan sholat qadla yang juga sebagai pengganti berikut ini.

1. Sholat Kafarat dan Sholat Qadla

Ilustrasi (Credit: Freepik)

Berdasarkan informasi yang dikutip dari tebuireng.online, penuturan Gus Ma'ruf Khozin ketika menanyakan ini kepada Habib Abu Bakar as Segaf bahwa sholat ini bukan sholat kafarat, namun shalat qadla. Ini adalah amalan Sayid Syaikh Abu Bakar bin Salim yang dimakamkan di 'Inat, daerah Hadlramaut Yaman.

Beliau adalah pembesar wali dan sayyid di masanya. Namun sholat tersebut tidak boleh diniati sebagai pengganti sholat selama setahun, sebagaimana yang diharamkan oleh ulama Fikih. Para Sayyid (Habaib) hanya mengamalkannya dan menjadikannya sebagai kebiasaan di akhir Jumat bulan Ramadan karena untuk mengikuti beliau. Mereka menyesuaikan niat mereka dengan niat Sayyid Abu Bakar bin Salim yang bergelar Fakhr al-Wujud.

Pengarang kitab Sullamut Taufiq, Habib Husain bin Thahir ditanya oleh penduduk Hadlramaut tentang hal ini, beliau menjawab:

"Kita taslim (menerima) terhadap amalan wali Allah. Dan kita niatkan seperti niat Sayyid Abu Bakar bin Salim. Tetapi para Habaib melarang mengajak orang-orang melakukan sholat ini di masjid, misalnya. Beliau-beliau mengamalkannya bersama keluarga di kediaman masing-masing. Khawatir ada kejanggalan dari sebagian orang."

Seumpama seperti itu adanya, yakni kemudahan mengqada sholat yang ditinggalkan dalam waktu yang lama cukup ditebus (kafarat) hanya dengan sholat sekali dalam setahun, maka dikhawatirkan yang akan terjadi kebanyakan orang Islam dengan mudahnya meninggalkan kewajiban sholat 5 waktu setiap hari dengan alasan nanti cukup melakukan sholat kafarat saja.

Syariat sudah mengajarkan bahwa apabila seseorang meninggalkan sholatnya baik itu disengaja ataupun tidak, maka dia berkewajiban mengganti (qadla) dengan sholat di lain waktu sejumlah sholat yang ditinggalkannya.

2. Hukum yang Membolehkan Sholat Kafarat

Ilustrasi (Credit: Freepik)

Terdapat diskusi panjang mengenai status hukum sholat kafarat. Beberapa ulama berbeda pandangan tentang hukum melakukan sholat kafarat, antara yang membolehkan dan mengharamkannya.

Berdasarkan informasi yang dilansir dari nu.or.id, Mufti Hadlramaut Yaman, Syekh Fadl bin Abdurrahman mengumpulkan perbedaan pandangan para ulama dalam kitabnya, Kasyf al-Khafa' wa al-Khilaf fi Hukmi Shalat al-Bara'ah min al-Ikhtilaf.

1. Bertendensi pada pendapat al-Qadli Husain yang membolehkan mengqadha sholat fardlu yang diragukan ditinggalkan. Pendapat tersebut sebagaimana keterangan berikuti ini:

"Cabangan permasalahan: al-Qadli Husain berkata, bila seseorang mengqadha sholat fardlu yang ditinggalkan secara ragu, maka yang diharapkan dari Allah sholat tersebut dapat mengganti kecacatan dalam sholat fardlu atau paling tidak dianggap sebagai sholat sunnah. Saya mendengar bahwa sebagian ashabnya Bani Ashim berkata, bahwa ia mengqadha seluruh sholat seumur hidupnya satu kali dan memulai mengqadhanya untuk kedua kalinya. Al-Ghuzzi mengatakan, ini adalah faidah yang agung, yang jarang sekali dikutip oleh ulama." (Syekh Sulaiman al-Jamal, Hasyiyah al-Jamal, juz.2, halaman 27).

Dalam redaksi yang lain disampaikan:

"Keraguan dalam ibadah badan atau harta, boleh menggantungkan niat qadanya, bila betul ada tanggungan maka statusnya wajib, bila tidak, maka berstatus sunah." (Syekh Fadl bin Abdurrahman al-Tarimi al-Hadlrami, Kasyf al-Khafa' wa al-Khilaf fi Hukmi Shalat al-Bara'ah min al-Ikhtilaf, halaman 4)

2. Tidak ada orang yang meyakini keabsahan sholat yang baru saja ia kerjakan, terlebih sholat yang dulu-dulu.

3. Larangan sholat kafarat dikarenakan ada kekhawatiran sholat tersebut cukup untuk mengganti sholat yang ditinggalkan selama setahun, ketika kekhawatiran tersebut hilang, maka hukum haram hilang.

4. Mengikuti amaliyyah para pembesar ulama dan para wali Allah yang ahli makrifat billah, di antaranya Sayyidi Syekh Fakr al-Wujud Abu Bakr bin Salim, Habib Ahmad bin Hasan al-Athas, al-Imam Ahmad bin Zain al-Habsyi dan banyak lainnya. Sholat kafarat rutin dilakukan dan diimbau oleh para pembesar ulama di Yaman. Bahkan di masjid Zabid Yaman sholat kafarat ini rutin dilakukan secara berjamaah.

Mengikuti amaliyyah para wali dan ulama 'arifin (ahli ma'rifat) tanpa diketahui dalil istinbathnya dari hadis Nabi, sudah cukup untuk menjadi hujjah membolehkan sholat kafarat ini. Syekh Abdul Wahhab al-Sya'rani dalam kitab Tanbih al-Mughtarrin, sebagaimana dikutip dalam Kasyf al-Khafa' mengatakan:

"Di antara kaum, apabila mereka tidak memiliki dalil dari sunah Nabi yang ditetapkan dalam kitab syari'ah, mereka menghadap hatinya kepada Rasul, bila sudah berhadapan dengan Nabi, mereka bertanya kepada beliau dan mengamalkan apa yang dikatakan Nabi, akan tetapi yang demikian ini khusus untuk para pembesar sufi."

3. Hukum yang Mengharamkan

Ilustrasi (Credit: Freepik)

Hukum yang mengharamkan sholat kafarat, setidaknya disebabkan oleh beberapa pertimbangan berikut ini:

1. Tidak ada tuntunan yang jelas dari hadis Nabi atau kitab-kitab syari'ah, sehingga melakukannya tergolong isyra'u ma lam yusyra' (mensyariatkan ibadah yang tidak disyari'atkan) atau ta'athi bi 'ibadatin fasidah (melakukan ibadah yang rusak).

2. Pengkhususan sholat kafarat pada akhir Jumat bulan Ramadan tidak memiliki dasar yang jelas dalam syari'at.

3. Terdapat keterangan sharih dari pakar fikih otoritatif mazhab Syafi'i, Syekh Ibnu Hajar al-Haitami sebagai berikut:

"Yang lebih buruk dari itu adalah tradisi di sebagian daerah berupa sholat 5 waktu di Jumat ini (Jumat akhir Ramadan) selepas menjalankan sholat jumat, mereka meyakini sholat tersebut dapat melebur dosa sholat-sholat yang ditinggalkan selama setahun atau bahkan semasa hidup, yang demikian ini adalah haram atau bahkan kufur karena beberapa sisi pandang yang tidak samar." (Syekh Ibnu Hajar al-Haitami, Tuhfah al-Muhtaj, juz.2, halaman 457).

Mengomentari statemen di atas, Syekh al-Syarwani mengatakan:

"Ucapan Syekh Ibnu Hajar, yang demikian ini adalah haram atau bahkan kufur karena beberapa sisi pandang yang tidak samar, di antaranya adalah dapat menggugurkan kewajiban mengqadha sholat, hal ini menyalahi seluruh mazhab-mazhab." (Syekh Abdul Hamid al-Syarwani, Hasyiyah al-Syarwani 'ala al-Tuhfah, juz.2, halaman 457)

4. Hadis tentang sholat kafarat tidak dapat dibuat dalil, karena tidak memiliki sanad yang jelas.

4. Kesimpulan Ikhtilaf Mengenai Hukum Sholat Kafarat

Ilustrasi (Credit: Freepik)

Terangkum dalam statemen Mufti Syekh Salim bin Said Bukair al-Hadlrami yang dikutip Kasyf al-Khafa' sebagai berikut:

"Bagaimana pendapat anda tentang sholat lima waktu yang dilakukan di akhir Jumat Ramadan, boleh atau tidak? Apakah ada salah seorang ulama yang membolehkannya dan mengamalkannya selain Syekh Abu Bakr bin Salim dan anak-anaknya?"

Jawaban, segala puji bagi Allah, sholat fardlu lima waktu di akhir Jumat bulan Ramadan merupakan sholat untuk mengqadha sholat fardlu yang tidak diyakini ditinggalkan, sholat ini disebut dengan sholat bara'ah, ulama berbeda pendapat mengenai hukumnya. Segolongan ulama seperti Syekh Ibnu Hajar, Syekh Bamakhramah dan lainnya mengharamkan. Dan mayoritas ulama Yaman membolehkannya, sholat ini dilakukan di masjid Jami' Zabid seperti yang dikatakan imam al-Nasyiri, beliau mengatakan, tidak meninggalkan sholat ini kecuali segelintir orang.

Sholat bara'ah atau sholat kafarat ini adalah amaliyyah para tokoh ilmu dan imam-imam fatwa, sholat ini dilakukan oleh para imam yang wira'i, yang menonjol dalam ilmu zhahir dan batin, seperti al-Fakhr Syekh Abu Bakr bin Salim, al-'Allamah Ahmad bin Zain al-Habsyi, Habib Umar bin Zain bin Smith, Habib Ahmad bin Muhammad al-Mihdlar dan ulama Hadlramaut yang lain."

"Al-Qadli Husain dan al-Ghuzzi membolehkan sholat qadha beserta keraguan seperti dalam Hasyiyah al-Jamal dan al-Imam al-Ghazali dalam kitab Ihy', ini adalah dalil dan hujjah terkuat dari apa yang dikatakan dan diamalkan imam-imam yang tersebut di atas. Bahkan, andai saja yang membolehkan dan melakukan shalat ini hanya Syekh Abu Bakr bin Salim, maka sudah cukup, sesungguhnya beliau tergolong pembesar ulama dan imam-imam agama." (Syekh Fadl bin Abdurrahman al-Tarimi al-Hadlrami, Kasyf al-Khafa' wa al-Khilaf fi hukmi shalat al-Bara'ah min al-Ikhtilaf, halaman 37)

Hal penting yang perlu ditegaskan adalah, keyakinan bahwa sholat kafarat diyakini sebagai pengganti sholat fardlu yang ditinggalkan selama satu tahun, sama sekali tidak dibenarkan, sebab kewajiban bagi orang yang meninggalkan sholat, baik sengaja atau lupa, adalah mengqadhanya satu persatu, ulama tidak ikhtilaf dalam hal ini. Sholat kafarat dimaksudkan sebagai langkah antisipasi (ihtiyath) saja. Wallahu a'lam. (M. Mubasysyarum Bih)

Itulah penjelasan mengenai ikhtilaf ulama tentang sholat kafarat atau shalat bara'ah yang bisa kalian jadikan pertimbangan. Semoga bisa saling menghargai atas perbedaan tersebut, karena keduanya sama-sama memiliki argumen yang dapat dipertanggungjawabkan.

Rekomendasi
Trending